MA Sering Kurangi Hukuman, Koruptor Berbondong-Bondong Ajukan PK

SATU : Eks Wali Kota Medan, Dzulmi Eldin (Terpidana kasus suap proyek dan jabatan di lingkungan Pemkot Medan). DUA : Mantan Kepala Kakorlantas Mabes Polri Irjen Djoko Susilo (Terpidana korupsi dan pencucian uang terkait pengadaan simulator SIM)

JAKARTA, NusantaraPosOnline.Com-Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berharap Mahkamah Agung (MA) dapat bersikap obyektif, independen dan profesional dalam menangani permohonan Peninjauan Kembali (PK) para terpidana korupsi.

Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri dalam keterangannya mengtakan bahwa KPK meminta agat MA mempertimbangkan uraian Jaksa yang disusun dalam kontra memori PK.

“KPK berharap MA dapat memeriksa permohonan tersebut dengan objektif, independen dan profesional dengan mempertimbangkan uraian jaksa KPK dalam memori pendapatnya,” kata Plt, Ali Fikri dalam keterangannya, Ahad (31/1).

Diketahui, sejumlah terpidana korupsi kembali berbondong-bondong mengajukan permohonan PK ke MA. Baru-baru ini, terpidana kasus korupsi Irjen Djoko Susilo mengajukan PK atas vonis 18 tahun penjara dan denda Rp 32 miliar dalam perkara korupsi dan pencucian uang terkait pengadaan simulator SIM.

Eks Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Mabes Polri itu menggandeng Syamsul Huda Yudha sebagai kuasa hukum. PK sudah didaftarkan pada Selasa (5/1) dengan nomor register: 97 PK/Pid.Sus/2021.

Selain Djoko, mantan Wali Kota Medan, Dzulmi Eldin juga mengajukan PK atas perkara suap proyek dan jabatan di lingkungan Pemkot Medan yang membuatnya dihukum 6 tahun pidana penjara dan denda Rp 500 juta serta pencabutan hak politik. Berkas permohonan PK Djoko Susilo dan Dzulmi Eldin saat ini telah masuk ke tingkat MA.

KPK menegaskan pihaknya selalu siap menghadapi gelombang PK yang diajukan terpidana korupsi. Tim Jaksa Penuntut Umum pun telah menyusun pendapatnya dalam kontra memori PK untuk diserahkan ke MA.

“KPK akan selalu siap menghadapi setiap Permohonan PK yang saat ini banyak diajukan oleh pihak terpidana. Saat ini, tim JPU sudah menyusun pendapatnya dan menyerahkan kontra memori PK tersebut kepada MA melalui Majelis hakim PK di PN Tipikor,” tegas Ali.

Sebelumnya, Wakil Ketua MA bidang Yudisial, Andi Samsan Nganro menegaskan dalam memutuskan suatu perkara Majelis Hakim tidak dapat diintervensi oleh siapapun, bahkan oleh Ketua MA. Oleh karenanya, maraknya pemotongan masa hukuman terpidana korupsi melalui putusan PK tak dapat disimpulkan sebagai pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi.

Ia terus menegaskan bahwa lembaganya mendukung penuh upaya pemberantasan korupsi. Bahkan, sebagai lembaga peradilan, tugas MA tidak sekadar menegakkan hukum dengan memberikan efek jera tetapi juga menegakkan keadilan, termasuk keadilan bagi terpidana kasus korupsi.

“MA mempertimbangkan semua, kami sinergikan semua kemudian melahirkan sebuah putusan berdasarkan ya kami akan pertimbangkan juga, kami tidak gegabah begitu, kami juga pertimbangan pada hati nurani, apakah ini sudah adil, apakah ini sudah tepat,” kata dia.

Dia menjelaskan ada tiga alasan mendasar dikabulkannya PK. Pertama adalah alasan disparitas pemidanaan.

“Disparitas pemidanaan ini, ini yang kami amati, ini fakta menunjukkan bahwa ada sebuah tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang, namun di dalam persidangannya itu mulai dari awal karena itu adalah kewenangan penuntut umum untuk di dalam berkas perkara itu diajukan ke Pengadilan, apakah diajukan secara berbarengan atau dipisah-pisah, di split. Artinya beberapa berkas,” ujar Andi .

Andi berdalih, sudah beberapa kali menemukan adanya disparitas. Ia pun mencontohkan salah satunya terkait hukuman seorang terpidana yang dipukul rata dengan terpidana lainnya. Padahal dalam perkara itu terpidana tersebut telah mengembalikan barang ataupun hadiah yang diberikan pada saat dirinya disuap.

“Bahwa ya jadi terjadi diskriminasi hukum, menimbulkan ketidakadilan, ya bagaimana ma memutus perkara kasasi, kendati majelis hakimnya berbeda kok berbeda beda. Inilah yanh antara lain yang dijadikan alasan untuk mengajukan PK. Nah kalau diajukan PK perkara yang demikian itu ya majelis hakim PK itu akan tetap akan mempertimbangkan,” Kata Andi.

Alasan kedua, sambungnya, yakni pemohon PK merasa keberatan dengan hukuman yang diberikan kepada pemohon tersebut. Salah satu contoh, pemohon merasa keberatan karena hukuman yang diterima pemohon lebih berat, padahal ia hanya berperan membantu.

“Dari segi hukum pidana membantu itu ya itu salah satu alasan yang bisa meringankan artinya tidak sama dengan pelaku pemeran utama,” jelasnya.

“Yang ketiga bisa ada alasan-alasan lain yang masuk independensi hakim, ya soal rasa keadilan, sebab menentukan berat ringannya pidana juga itu merupakan suatu seni, suatu pertimbangan memerlukan suatu bekerjanya fungsi fungsi rasio, fungsi hati nurani dan lain lain.”  Ujarnya. (bd)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!