Bisnis Edan Dulu Rp 900 Ribu, Mengapa Harga Tes PCR Baru Turun Rp 275 Ribu ?

Ilustrasi bisnis tes PCR dimasa Pandemi Covid-19

JAKARTA, NusantaraPosOnline.Com-Harga tes PCR (polymerase chain reaction) di Indonesia dinilai masih terlalu mahal, sebagai syarat bepergian melalui jalur udara atau pesawat terbang.

Namun, karena perekonomian rakyat yang terpukul karena pandemi Covid-19 hal ini kerap menjadi bahan komplain masyarakat. Bahkan banyak warga yang menduga ada permainan bisnis di balik mahalnya biaya tes PCR.

Seperti kita ketahui bersama, pekan lalu Kementrian Kesehatan telah secara resmi menurunkan harga tes PCR melalui Surat Edaran (SE) Nomor HK 02-02/1/3843/2021 tentang Batas Tarif Tertinggi Pemeriksaan Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR).

“Dari hasil evaluasi, kami sepakati bahwa batas tarif tertinggi pemeriksaan RT-PCR diturunkan menjadi Rp 275 ribu untuk pulau Jawa dan Bali, serta sebesar Rp 300 ribu untuk luar pulau Jawa dan Bali,” Kata Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes, Abdul Kadir, seperti dilansir oleh laman resmi Kemenkes.

Namun penurunan biaya tersebut tak serta-merta menyurutkan amarah publik. Dan harga tes PCR di Indonesia dinilai masih terlalu mahal, meskipun pemerintah sudah menetapkan harganya tak boleh lebih dari Rp 300 ribu. Masyarakat justru berapi-api mempertanyakan mengapa biaya tes PCR baru diturunkan belakangan ini ?

Untuk menjawab keluhan publik tersebut, Sekjen Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia, Randi Teguh, pun angkat bicara.

Randi mengungkapkan bahwa biaya tes PCR baru turun belakangan ini disebabkan oleh  semakin banyaknya pelaku usaha atau penyedia reagen PCR. Terlebih lagi, pada saat ini, situasi Covid-19 di Indonesia sudah melandai.

“Sebenernya kalau dari kami, dari alat-alat lab, pada saat pemerintah membatasi harga Rp 900 ribu pada Oktober-November 2020, harga (komponen) reagen PCR itu sekitar Rp 400 -Rp 500 ribu,” ujar Rendi dalam sebuah diskusi publik virtual pada Sabtu, (30/10/2021).

“Masih tinggi. Mengapa ? Karena pada saat itu jangan lupa Covid ini penyakit baru. Produsen reagen PCR-nya masih sedikit. Pada saat itu hanya ada 5-10 merek. Dan jumlah kasusnya juga masih 1.000 – 2.000-an akhir tahun 2020 sehingga harganya masih tinggi,” tutur Rendi.

“Sehingga pada saat pemerintah membatasi pada harga Rp 495.500, harga reagen itu sudah turun sekitar Rp 200.000. Itu kenapa bisa turun? Karena saat ini jenis merek reagen PCR itu sudah ada 52,” jelas Rendi.

Rendi menekankan bahwa penurunan biaya tes PCR dari waktu ke waktu pada dasarnya telah mengikuti dinamika pasar (market). Meski begitu, ia tak menampik bahwa meski kondisi pasar telah memungkinkan biaya tes PCR turun, ternyata masih saja banyak komplain dari masyarakat mengenai tidak ekonomisnya biaya tes PCR tersebut.

Mengenai hal ini, Randi menduga satu hal. Ia menduga ada lab-lab klinik tertentu yang sengaja tak menurunkan harga reagen PCR karena menganggap harga-harga reagen PCR terdahulu merupakan harga yang sudah ajeg dan tak bisa diturunkan seiring dengan membaiknya situasi Covid-19.

“Nah, jangan-jangan memang masalahnya ketika dibatasi Rp 900 ribu, di mana sebetulnya harga barang-barang sudah turun, lab-lab klinik nggak bisa ikut turun karena mikir, ‘Oh, batasnya Rp 900 ribu.’ Jadi, tetap saja Rp 900 ribu. Itu yang jadi masalah jangan-jangan ya,” ujar Randi.

Harga Rp 900 ribu bukannya Harga Eceran Tertinggi (HET), sedangkan harga terendahnya bisa Rp 275 ribu. Jadi ada kemungkinan ada pihak-pihak yang bermain dalam hal ini ? (bd)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!