Hukrim  

Pelatihan Paralegal, Dilaksanakan LBHJ Yang Tidak Terakreditasi Salahi Aturan?

JOMBANG, NusantaraPosOnline.Com-Pelaksanaan pelatihan Paralegal desa,  Selama 2 hari yakni  tanggal 5 – 6 Desember 2017,  bertempat di Batu Suki Hotel, Jl. Bukit Berbunga No. 20-24, Kelurahan Sidomulyo, Kecamatan Batu, Kota Batu, Jawa Timur. Kegiatan tersebut terus disoal, oleh Lsm Aliansi rakyat anti korupsi (Lsm Arak).

Pasalnya kegiatan yang mengunakan anggaran Dana desa (DD) yang bersumber dari APBN 2017,  tersebut diduga menyalahi aturan, karena kegiatan dilaksanakan oleh LBHJ, dimana LBHJ adalah lembaga yang belum terakreditasi berdasarkan Undang-undang (UU) No : 16 Tahun 2011, dan Peraturan Menteri hukum dan hak asasi manusia (Menkum HAM) No : 3 Th 2013.

Bukan hanya itu, pelaksanaan kegiatan tersebut, disebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan pelaksanaan dilapangan dinilai ngawur, oleh LSM Arak.

Koordinator Lsm Arak, Safri nawawi, mengatakan pelaksanaan pelatihan Paralegal, harus dilihat dalam pendekatan tiga pilar good governance dalam mendudukkan posisi dan peranan paralegal yakni : Pilar negara, pilar pasar, dan pilar masyarakat.

Lebih lanjut Safri menjelaskan tiga pilar tersebut yakni : BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) Kementrian desa, Kejaksaan juga Kepolisian, dan Kementrian lainnya adalah pilar Negara; Sedangkan Kantor-kantor advokat profit misal Peradi atau organisasi-organisasi advokat adalah pilar pasar dalam layanan hukum;  dan Sedangkan paralegal adalah pilar masyarakat (rakyat).

“Oleh karena itulah paralegal dilengketkan pada pilar masyarakat (Rakyat) dalam hal ini adalah Lembaga bantuan hukum (LBH) atau Organisasi bantuan hukum (OBH) yang terakreditasi, yang tidak bertujuan mencari keuntungan, tidak komersil bukan negara dan bukan pula organisasi-organisasi pasar. Karena itulah secara filosofi, secara konsep paralegal harus diselenggarakan oleh LBH/OBH yang terakriditasi.” Pungkas Safri.

Secara hukum ini sudah ditegaskan di dalam  Pasal 9 huruf (a) UU No : 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, dimana rekrutmen paralegal dapat dilakukan oleh LBH/OBH yang terakreditasi. Bukan oleh negara, dan bukan oleh pasar.

Ditegaskan pula dalam Pasal 10 huruf (c) UU No : 16 Tahun 2011, pemberi bantuan hukum yakni LBH/atau OBH yang terakreditasi berkewajiban, menyelengarakan pendidikan dan pelatihan bantuan hukum paralegal.

Safri menegaskan, amanat pasal 9 huruf (a), dan pasal 10  huruf  (c) UU No : 16 Tahun 2011, mengatur secara jelas proses rekrutmen Paralegal, tidak dapat terpisah dengan pelaksanaan pelatihan dan pasca pelatihan Paralegal.

Oleh karena itu tidak mungkin jika pelaksanaan pelatihan Paralegal dilakukan oleh LBH  yang tidak terakreditasi, atau pelatihanya oleh pihak negara, atau pasar. Lalu kemudian untuk pasca pelatihanya  diserahkan kepada OBH yang terakreditasi. Karena itu penyelenggaranya harus OBH yang sudah terakreditasi.

“Jadi saya sangat menyayangkan pelaksanan pelatihan paralegal desa, yang diikuti 370 orang, yang berasal dari 170 desa, di 13 kecamatan, di Kabupaten Jombang. Kegiatan tersebut dibiayai dari Dana desa (DD) yang bersumber dari APBN.  Tapi pelaksanaanya dilakukan oleh LBHJ yang tidak terakreditasi. Jadi kegiatan tersebut tidak ada dasar hukumnya, itu namanya ngawur.” Tegas Safri.

Lalu bagaimana nasib 370 orang peserta pelatihan paralegal desa, yang dibiayai dari Dana desa tersebut ? Karena tidak mungkin pelaksanaan pelatihan paralegal dilaksanakan oleh LBHJ yang tidak terakreditasi, kemudian pasca pelatihan diserahkan kepada LBH/OBH lain yang terakreditasi. Juga sangat tidak mungkin juga paska pelatihan 370 orang Paralegal diserahkan kepada pilar pasar, atau pilar Negara.

“Sebelum kegitan dilakukan kami sudah mengingatkan kepada LBHJ, dan pihak terkait lainya, bahwa yang punya hak untuk melakukan perekrutan paralegal, dan melaksanakan pelatihan paralegal. Adalah LBH/OBH yang terakreditasi, sesuai UU No : 16 Tahun 2011,  Peraturan menteri hukum dan HAM RI No : 3 Tahun 2013.  Sehingga kalau kita melihat nota kesepakatan antara Kemenkum HAM dan Kemen PDT No : M.HH-05.HM.05.02 Tahun 2016 dan No : 01/M.DPDTT/KB/I/2016, kegiatan ini sangat ngawur.” Tegas Safri. Jumat (8/12/2017).

Sekarang LBHJ dan pihak yang terkait pelaksanaan kegiatan tersebut harus bertanggung jawab atas nasib 370 peserta pasca pelatihan paralegal desa tersebut. Dan mereka harus mempertangungjawabkan pengunaan Dana desa dari APBN untuk membiayai kegiatan yang tidak ada dasar hukumnya tersebut.

“Dalam hal ini pemerintah desa tidak bisa disalahkan, karena mereka tidak mengetahui masalah ini, dan kepala desa tidak berkecimpung didunia hukum. Tapi yang kami sayangkan adalan LBHJ dan panitia, kegiatan yang seharusnya mereka paham terhadap masalah ini, tapi nekat melaksanakan kegiatan tanpa dasar hukum. Ini sama saja membodohi pemerintah desa. Kami berharap aparat penegak hukum bertindak, dan kami pastikan masalah ini akan kami bawa keranah hukum” Pungkas Safri.

Dari penelusuran NusantaraPosOnline.Com, pelatihan yang dilaksanakan LBHJ tersebut hanya berlangsung 4 sampai 5 jam, dalam kegiatan tersebut. Yang mana teknis pelaksanaanya ada dua sesen, sesen pertama tutor atau pemateri ada dua orang, yakni perwakilan dari Kejaksan Negeri Jombang, dan dari Polres Jombang. Dan pada sesen kedua pematerinya ada 2 orang yakni : Ketua LBHJ, dan ketua Pradi Jombang. Sehingga bisa dibayangkan apa output yang didapat dalam acara yang memakai APBN tersebut.

Padahal dalam brosur yang disebarkan LBHJ kepada pemerintah desa, pemateri kegiatan tersebut, akan menghadirkan perwakilan dari Kejaksaan tinggi  Jawa timur, dan Ikadin Jawa timur, sebagai pemateri. Tapi kenyataanya dua lembaga tersebut tidak ada, tidak memberikan materi.

Bahkan bisa kita hitung 170 desa yang berada di 13 kecamatan. Dimana setiap desa dipungut biaya Rp 3 juta. Maka 170 x Rp 3.000.000 = Rp 510 Juta, uang negara dikeluarkan hanya untuk pendidikan yang dilaksanakan tanpa output tidak tepat sasaran.

Masing-masing peserta pelatihan, mendapat fasilitas yang diterima panitia hanya menginap dihotel selama 1 malam, satu kamar diisi tiga orang, bahkan ada yang lebih. Bahkan peserta banyak yang terpaksa tidur di kasur dilantai kamar hotel. Mendapat makan 3 x yakni : Malam, Pagi, dan siang (makan tidak pakai daging).

Selain itu peserta mendapatkan, satu buah kaos seharga kisaran Rp 30 ribu, makalah, dan stop map plastik.

Menurut, salah seorang kepala desa, yang keberatan disebutkan namanya, ia mengatakan kami kurang memahami masalah Paralegal ini. Untuk kegiatan ini masing-masing desa dipungut Rp 3 juta. “Kami berterima kasih, kepada mbak (wartawan NusantaraPosOnline.Com), setelah diberitakan panitianya kayaknya ketakutan, uang Rp 3 juta, tersebut setelah kegiatan dikembalikan Rp 1 juta. Kalau tidak diberitakan mungkin tidak akan ada pengembalian uang.” Kata sang Kepala desa. (rin/yan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!