Ekobis  

Aprindo Desak DPR Kaji Ulang Kenaikan Pajak PPN Pada RUU KUP

Ketua Umum Aprindo, Roy Mandey

JAKARTA, NusantaraPosOnline.Com-Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mendesak DPR untuk mendorong pemerintah agar meninjau ulang peningkatan tarif pajak PPN dan penetapan pajak multi tarif, yang terdapat pada rancangan Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang sedang dibahas pemerintah bersama DPR.

Desakan tesebut disampaikan oleh Ketua Umum Aprindo, Roy Mandey, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu kemarin (25/8/2021).

Roy mengatakan, peningkatan tarif maupun penerapan multi tarif PPN pada situasi pandemi saat ini sangat kurang tepat, sebab berbagai sektor termasuk diantaranya Ritel Modern (pasar swalayan) saat ini sedang dalam kondisi terpuruk dihantam badai pandemi Covid-19.

“Ditandai dengan berhenti beroperasinya hampir 1.500 gerai ritel modern dalam kurun waktu 18 bulan terakhir,” ujar Roy dalam keterangan tertulis kepada wartawan, Kamis malam (26/8/2021). Kenaikan tarif PPN di dalam RUU KUP, diterangkan Roy, secara umum dari 10 persen menjadi 12 persen. Menurutnya, besaran itu akan berdampak pada melandainya daya beli, sehingga memupuskan upaya menjaga konsumsi rumah tangga,
sebagai kontributor terbesar pada ekomomi, yang pada kuartal II-2021 mencapai 55,07 persen pada PDB.

“Serta kecenderungan terjadinya peningkatan laju inflasi yang signifikan seiring dengan kenaikan harga barang akibat kenaikan tarif pajak,” sambungnya.

Roy menambahkan, situasi ini, akan lebih tergerus lagi saat dikenakannya sistem multi tarif terendah 5 persen dan tertinggi 15 persen, yang mengakibatkan pembebanan pada masyarakat berpenghasilan rendah atau marginal senilai minimal 5 persen, yang sebelumnya tidak terkena.

“Belum lagi dengan dampak perbedaan multitarif PPN tersebut antar barang yang dijual pada peritel modern, berpotensi akan membangunkan black/shadow market yang meningkat pula dan menjadi pilihan utama Konsumen, maupun peningkatan belanja barang di luar negeri yang harganya lebih bersaing,” tuturnya.

Roy juga meminta, pemberlakuan PPH minimal 1 persen pada pendapatan/omzet kotor atas perusahaan yang berstatus rugi dapat ditangguhkan. Karena baginya, PPH minimal ini akan menambah beban tambahan bagi berbagai sektor termasuk peritel yang mengalami kerugian.

“Sehingga melakukan langkah kebijakan strategis dalam hal penutupan gerai, hilangnya investasi hingga PHK massal,” imbuhnya.

Roy menjelaskan, dalam situasi pandemi ini, pasti Pemerintah akan meneruskan fungsi refocusing dan realokasi APBN agar kuat, di mana salah satu upaya Pemerintah mendapatkan income adalah melalui extensifikasi perpajakan selain menambah hutang luar negeri maupun melalui penerbitan SBN/Obligasi negara dan printing money.

Sehingga dalam kesempatan RDP kemarin, selain memberikan daftar inventaris masalah (DIM), Aprindo juga memberikan berbagai pandangan sebagai pelaku usaha dan pejuang ekonomi dalam RUU KUP, yang dia harapkan dan lebih menyasar kepada ujuh catatan sebagai upaya maksimal yang dapat ditingkatkan oleh pemerintah tanpa signifikan membebani pelaku usaha maupun masyarakat, yang antara lain :

1. Pemberlakuan RUU KUP yang menjadi prolegnas untuk diratifikasi ini, kiranya dapat ditangguhkan dahulu di masa pandemi ini dan vaksinasi yang masih dimaksimalkan.

2. Mengupayakan maksimal dan fokus pada peningkatan subjek atau Wajib Pajak (WP) baru bukan hanya perluasan cakupan atau extensifikasi sasaran objek.

3. Peningkatan program kepatuhan dan kesetaraan para WP melalui Komunikasi Publik yang sistematis dan terintegrasi dengan penerapan Punish & Awarding Rewards

4. Post Border Tax, yang tentunya masih memiliki ruang agar dapat di optimalkan, antara lain dalam hal pengenaan pajak atas produk/barang yang dibeli melalui online medsos asing dengan cara pembayaran selama ini dengan COD yang hanya terkena biaya kirim maupun pembelian barang Jastip

5. Peningkatan tarif atau multi tarif atas Pajak Barang Mewah untuk pembelian, pemakaian dan pemilikan barang/jasa dari para super/crazy rich Indonesia yang berkategori SES A+/AA+

6. Peningkatan fungsi pengawasan dan penyelidikan wajib pajak, dilakukan oleh platform yang independence, kompeten dan terakreditasi, sehingga diharapkan dapat lebih transparan dan berintegritas, tidak memiliki hubungan sosial maupun emosional dengan WP

7. Dibentuknya Satgas Perpajakan melibatkan unsur K/L, Pemda (Pemkot dan Pemkab) serta Penyidik Polri, Kejaksaan atas WP yang telah diperingati berkali-kali, tetapi tidak punya itikad menuntaskan pembayaran pajak terhutangnya maupun WP penggelapan/pengemplang pajak dengan penindakan hukum yang presisi, tegas tanpa kompromi yang tidak tajam kebawah tumpul ke atas, sebagai efek jera. (bd)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!