Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Pendidikan

Bolehkah Menyebut MEREK Pada TENDER ? dan apa SANKSI-nya ?

×

Bolehkah Menyebut MEREK Pada TENDER ? dan apa SANKSI-nya ?

Sebarkan artikel ini
FOTO : Ilustrasi dari penulis

Hallo para pelaku PBJ khususnya para pembaca, kali ini saya tertarik mengkaji dalam rangka menjawab pertanyaan salah satu member FB Group LKPP (Barang dan Jasa).

Ekosystem PENGADAAN Indonesia. Adapun pertanyaan tersebut adalah apakah dalam spesifikasi teknis boleh merujuk/mensyaratkan ke merek tertentu ? Sekilas ini pertanyaan gampang dijawab namun bila dikaji dengan kacamata Kebijakan Publik ternyata tidak, dan penjelasannya coba saya jabarkan pada artikel ini.

Terkait artian Merek, menurut Undang-Undang nomor 13 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU nomer 13/16) adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau Jasa.

Merek tersebut dilindungi Hukum setelah Hak atas Merek tersebut terdaftar pada Berita Resmi Merek yaitu media resmi yang diterbitkan secara berkala oleh Menteri melalui sarana elektronik dan/atau non-elektronik dan memuat ketentuan mengenai Merek.

Terkait bagaimana Merek tersebut dipasarkan di Indonesia khususnya pada metode pemilihan Tender sudah diatur melalui Undang-Undang nomor 05 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU 05/99) yang terakhir diubah oleh Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 118 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha. Selanjutnya Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pasal 22 Tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender (PerKPPU 02/2010) sebagai aturan pelaksanaan UU 05/99 jelas menyebutkan bahwa salah satu Indikasi Persekongkolan dalam Tender adalah dengan persyaratan dan spesifikasi teknis atau merek yang mengarah kepada pelaku usaha tertentu sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk ikut.

Terkait PBJ, penyebutan merek juga sudah diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PS 16/18′) sebagaimana yang diubah oleh Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021. PS 16/18′ menyebutkan bahwa dalam penyusunan spesifikasi teknis/KAK dimungkinkan penyebutan merek terhadap :

  1. komponen barang/jasa;
  2. suku cadang;
  3. bagian dari satu sistem yang sudah ada; atau
  4. barang/jasa dalam katalog elektronik atau Toko Daring.

Dan khusus untuk Metode Tender Cepat, penyebutan dimungkinkan hanya untuk Suku Cadang dan bagian dari satu sistem yang sudah ada.

Selanjutnya Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah nomor 12 tahun 2021 tentang Pedoman pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah melalui penyedia (PerLKPP 12/21) sebagai pelaksanaan dari PS 16/18 menyebutkan bahwa Spesifikasi teknis/KAK harus didefinisikan dengan jelas dan tidak mengarah kepada produk atau merek tertentu kecuali dimungkinkan sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden.

Pada Lampiran PerLKPP 12/21 juga sudah sangat jelas bahwa merek yang diusulkan Peserta dalam penawarannya termasuk unsur yang dievaluasi / dinilai.

Dapat disimpulkan baik UU 05/99 maupun PS 16/18 membolehkan penyebutan merek namun UU 05/99 ada Larangan bahwa Merek tersebut “tidak mengarah kepada pelaku usaha tertentu sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk ikut”.

Untuk lebih jelas dapat dibaca di Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 2 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pasal 22 Tentang Larangan Persekongkolan dalam Tender.  PS 16/18′ dibuat atas dasar pertimbangan adanya Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 175 tentang perubahan Undang-Undang nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/14′) dimana disebutkan asas penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan antara lain asas Legalitas dan Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).

Secara legalitas Merek diatur oleh Undang-Undang nomor 13 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis sedangkan salah satu prinsip pelaksanaan PBJ adalah Akuntabel maka dengan sendirinya Merek yang dimaksud pada PS 16/18′ adalah yang sudah terdaftar di Berita Resmi Merek Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Untuk memeriksa apakah Merek tersebut sudah terpenuhi aspek legalitasnya maka bisa dilakukan pengecekan pada https://pdki-indonesia.dgip.go.id.

Meskipun tidak melarang pembatasan satu atau beberapa jenis merek, namun batasannya jelas diatur di PerKPPU 02/10 yaitu sepanjang tidak mengarah kepada pelaku usaha tertentu sehingga menghambat pelaku usaha lain untuk ikut.

Berdasarkan PerKPPU 02/10 dan penelitian saya, indikasi pelanggaran batasan tersebut adalah antara lain sebagai berikut :

  1. Adanya kesepakatan dengan pelaku usaha tertentu mengenai merek barang dan jasa yang akan ditender.
  2. Pemilik Merek hanya mau bekerjasama atau memberikan dukungan kepada Penyedia tertentu sehingga penyedia lain tidak bisa ikut apalagi memenangkan tender.
  3. Pemilik Merek memberikan discount khusus kepada penyedia tertentu sehingga bisa menawar lebih rendah dari Penyedia lain yang diberikan dukungan yang sama.
  4. Pemilik merek mencabut dukungannya dengan alasan sedemikian rupa pada tahap evaluasi sehingga menggugurkan penawaran penyedia tersebut.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana jika Indikasi tersebut terpenuhi, apa yang harus dilakukan oleh masyarakat yang mengetahui maupun penyedia yang dirugikan.

Untuk ini setiap orang yang mengetahui telah terjadi atau patut diduga telah terjadi pelanggaran dapat melaporkan secara tertulis kepada KPPU, dengan keterangan yang jelas tentang telah terjadinya pelanggaran, dengan menyertakan identitas pelapor.

Selain itu Pihak yang dirugikan sebagai akibat terjadinya pelanggaran dapat melaporkan secara tertulis kepada Komisi dengan keterangan yang lengkap dan jelas tentang telah terjadinya pelanggaran serta kerugian yang ditimbulkan, dengan menyertakan identitas pelapor.

Apabila terbukti maka dapat dijatuhkan sanksi administratif yaitu printah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan.

Contoh Kasus Penyimpangan terkait Merek :

  1. Tidak ditetapkannya Merek Cat KAK. Dalam penyusunan HPS, dasar perhitungan memakai Cat Merek Mahal, namun saat pemilihan, merek yang dipakai tidak ditetapkan akibatnya timbul multi tafsir di seluruh penawar. Adalah penawar A yang memakai harga ekstrim yaitu menawarkan harga cat oplosan sedangkan penawar lain pakai vinilex dan Jotun serta merek lainnya. Karena harga jauh beda, si A bisa menawar dibawah 80% dan memenangkan tender dan bekerja. Pelaksanaannya tentulah berdasarkan apa yang diperjanjikan di dokumen penawaran dan akibatnya pengawas dan auditor tidak memiliki dasar hukum untuk melarang pemakaian cat oplosan. Jadilah Bangunan dengan Cat yang seumur jagung, tak berapa lama setelah batas waktu masa pemeliharaan habis maka mulai warna berubah, luntur, terkelupas dll.
  2. Pencantuman Merek mengarah ke Penyedia tertentu. Pada persyaratan dicantumkan merek lampu A, dimana merek ini cuman import lampu dari china lalu dilabelin merek tertentu yang belum terkenal dan tidak terdaftar di Kemenkumham. Meskipun merek lampu sangat banyak bahkan terdaftar, terpaksa semua penyedia meminta dukungan ke pemilik merek A, untungnya dikasih namun khusus penyedia tertentu diberi harga sangat murah akibatnya penawaran bisa paling rendah dan menang. Ada juga kasus si pemilik Merek menarik dukungannya sedemikian rupa pada saat klarifikasi sehingga memenangkan penawaran penyedia tertentu yang mendapat dukungan.
  3. Ditetapkan merek namun pilihan tidak ditetapkan di dokumen penawaran.
    Bahan Atap di dokumen penawaran disyaratkan merek Genteng Benton A, B, C,  Si Penawar yang dimenangkan juga memilih merek A,B,C di spesifikasi teknisnya. Saat pelaksanaan, Konsultan/PPK memaksa pakai merek C karena sudah punya deal dengan produsen merek tersebut. Akibatnya harga C naik (markup) dan kontraktor menanggung beban, jadilah kontraktor mesan merek C tapi minta KW1 Kw2. Selesai tuh bangunan, namun belum habis masa pemeliharaannya… atapnya rubuh.
  4. Ditetapkan namun dikasih celah spesifikasi “setara”. Di dokumen KAK disyaratkan U Ditch merek A atau setara, penyedia yang dimenangkan juga ikut memberi penawaran merek A atau setara. Pas dilapangan ada celah seputar definisi setara ”ukurannya apa”, jadilah persamaan persepsi berbayar di lapangan dan U Ditch cetak sendiri ataupun cor ditempat. Yang terjadi selanjutnya bisa ditebak sendiri.***

Oleh : Dr Bonatua Silalahi

(Penulis adalah Doktor & Magister Kebijakan Publik serta mengikuti Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa (SPPB). Selain aktif meneliti tentang Pengadaan Publik juga berprofesi sebagai Konsultan Ahli Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, serta aktif di beberapa Organisasi Masyarakat maupun Komunitas Profesional)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!