SURABAYA (NusantaraPosOnline.Com) – Bus rapit transit (BRT) ukuran besar, bantuan kementrian Perhubungan (Kemenhub) Ri tahun 2014, yang disebut bus Trans Sidoarjo tak mendapat tempat yang layak, diterminal tipe A Purbaya Bungurasih.
Pasalnya sejak bus Trans Sidoarjo, ini diluncurkan sejak 21 September 2015 lalu, sampai sekarang ini, bus bantuan Kemenhub tersebut, menaikkan dan menurunkan penumpang di luar terminal Purbaya. Berada persis di samping tempat penitipan sepeda motor dan di sisi luar Bus Kota. Padahal Bungurasih adalah terminal tipe A terbesar.
“Ditempat nungguan bus, tidak ada ruang tunggu penumapang, penumpang harus berdiri kehujanan kepanasan saat menunggu bus. Tak ada peneduh saat naik atau turun bus. Bukan hanya itu, kursi tempat duduk juga tidak ada. Padahal terminal Purbaya ini adalah terminal terbesar di Jawa timur.” Kata Munir, seorang pedagang nasi di terminal Purbaya.
Bus warna biru dengan high deck atau lantai tinggi ini sudah 2 bulan beroperasi. Bus ini melayani rute Purbaya-Porong PP (langsung lewat tol). Bus ini diluncurkan sejak 21 September 2015. Namun hingga saat ini, bus dengan kapasitas 60 penumpang ini tak pernah penuh.
Dari pantauan NusantaraPosOnline.Com, saat jam sibuk yaitu jam pulang kantor, dan sekolah, Rabu (25/5/2017), NusantaraPosOnline.Com ikut menumpang bus tersebut, dari Terminal Purbaya tujuan Terminal Porong. Ternyata bus tersebut tak banyak diminati. Hanya ada 8 penumpang yang bersabar menunggu bus berangkat. Padahal sudah lebih dari 20 menit bus ngetem.
Diperjalanan ternyata pengoperasian bus ini masih amburadul, menurunkan dan menaikan penumpang sering melewati pintu depan. Bahkan kami mendapati bus yang kami tumpangi menaikan penumpang di pintu tol, dan melalui pintu depan. Padahal BRT menaikan penumpang dan menurunkan penumpang harus lewat pintu samping.
Bukan hanya itu, diperjalanan dari terminal Purbaya, menuju terminal Porong, bus melewati 7 titik halte. Ke 7 helte tersebut, lima halte dibangun diatas trotoar, sehingga menghalangi para pejalan kali. Dan 2 halte, dibangun diatas tanah, tapi tidak berfungsi sama sekali. Bahkan kondisi halte nampak sudah ada kerusakan, kendati belum difungsikan.
Tiba diterminal Porong, NusantaraPosOnline.Com kembali lagi menumpang bus trans Sidoarjo, untuk kembali lagi ke Terminal Purbaya, setelah ngetem 25 menit, bus kemudian berangkat menuju ke Terminal Purbaya. Hanya ada 2 penumpang didalam bus tersebut. Diperjalanan juga melewati 7 titik halte. Dari 7 halte tersebut, ada 2 titik halte yang tidak berfungsi, dan nyaris rusak. Sedangkan 5 halte dibangun diatas trotoar, sehingga menghalangi pejalan kaki.
Salah seorang sopir Bus, yang keberatan disebutkan namanya, ia mengatakan, bus ini diliucurkan sejak 21 September 2015 lalu, masih sepi penumpang. Bus yang beroperasi hanya 10 bus setiap harinya.
“Hari ini juga 10 bus yang dioperasikan, tapi tadi siang 1 bus pulang ke garasi, karena sopirnya ijin karena sakit. Karena masih sepi penumpang.” Kata sang sopir, Rabu (24/5/2017) sore.
Terkait hal tersebut, Koordinator Lsm aliansi rakyat anti korupsi (Lsm Arak), Safri nawawi, ia mengatakan, jumlah bus trans Sidoarjo tersebut, yang berasal dari bantuan Kemenhub, tersebut dibeli tahun 2014, sebanyak 30 unit BRT ukuran besar, tipe R 260. Bus tersebut waktu pembelian dibeli untuk diberikan kepada Pemkot Surabaya. Namun bantuan tersebut ditolak oleh Pemkot Surabaya.
“Adanya penolakan bantuan dari Pomkot Surabaya. Ini mempertegas bahwa perencanaan pengadaan 30 BRT tersebut oleh Kemenhub, dilakukan asal-asalan. Seharusnya proyek tersebut, harus melalui pengkajian terlebih dahulu, dan harus berdasarkan usulan dari Pemkot Surabaya. Karena daerah lebih mengetahui kondisi penumpang, jalan, dan kebutuhan daerahnya. Tapi ini terbalik Kemenhub, yang ngotot bikin proyek 30 BRT untuk Pemkot Surabaya. Kami curiga ada praktek korupsi di Kemenhub. Ada permainan antara Kemenhub dengan rekanan.” Tegas Safri. Kamis 25 Mei 2017.
“Proyek 30 BRT tersebut, dikelola oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (Dirjen PHD) Kemenhub, pada tahun 2014, yang menjabat sebagau Dirjen PHD adalah DR. Ir, Djoko sasono, MSc. Sebelum menjabat sebagai Dirjen PHD, Djoko sasono, menjabat sebagai Direktur Bina Sarana Transportasi Perkotaan (BSTP) yang membidangi urusan pengadaan BRT. Jadi mulai dari perencanaan hingga pengadaan 30 BRT tersebut, Ir, Djoko sasono, yang harus bertanggung jawab. Aparat penegak hukum layak untuk memeriksa, Djoko sasono.” Tegas Safri.
Menurut Safri, Dari pantauan Lsm Arak, setelah bantuan bus ditolak Pemkot Surabaya, diberikan kepada Pemkot Sidoarjo, sekitar Februari 2015 lalu. Tanggal 29 Mei 2015 izin trayek bus dikeluarkan Kepala dinas perhubungan dan LLAJ Jatim, melayani jurusan Terminal Purbaya – T Porong. Izin trayek berlaku dari tangal 29 Mei 2015 – 28 Mei 2020. Bus ini diluncurkan sejak 21 September 2015. Tapi yang beroperasi hanya kisaran 10 unit. Yang 20 unit mangkrak.
“Untuk menutupi kebusukan proyek 30 BRT ini, pada pembahasan revisi DIPA Tahun anggaran 2016, di lingkungan Dirjen PHD. Kemehub RI mengalokasikan anggaran untuk pengoperasian 30 BRT (Trans Sidoarjo), sebesar Rp 1.165.953.688. Yang menarik adalah anggaran tersebut dilaksanakan pada akhir tahun 2016. Tertulis jelas anggaran tersebut untuk 30 BRT. Tapi kenyataan dilapangan setiap hari hanya sekitar 10 unit bus Trans Sidoarjo, yang beroperasi. Itupun terseok-seok. Akibat menangung dosa-dosa proyek Kemenhub, yang salah kaprah.” Tegas Safri.
Sepengetahuan saya selama ini Kemenhub, tidak pernah menganggarkan untuk bantuan pengoperasian BRT. Setahu saya baru akhir tahun 2016 ada anggaran untuk itu.
Masih menurt Safri, setelah menjabat Dirjen PHD. Djoko sasono, naik pangkat kini ia sedang menjabat Staf ahli Bidang logistic, multimoda dan keselamatan perhubungan, Kemenhub. Seharusnya pejabat seperti ini sudah dibuang dari Kemenhub. “Buat apa Menhub, mempertahankan pejabat yang tidak bisa bekerja. Kami akan segera berkirim surat, kepada presiden RI. Agar memerintahkan Menhub, mengambil sikap tegas terhadap Djoko sasono, dan begundal-begundalnya, atau pejabat yang terlibat. Kejadian seperti ini berulang-ulang terjadi di Kemenhub, misalnya proyek pembelian 3000 unit BRT besar tipe R 260, untuk periode 2015 – 2019. Kasusnya malah lebih parah lagi.” Kata Safri.
Sebagai informasi, bus bantuan Kemenhub, tersebut dibeli tahun 2014 lalu. Pembelian dilakukan langsung terpusat di kantor Kemenhub di JL Merdeka barat No 8, Jakarta pusat. Jumlah tersebut sebanyak 30 bus, untuk diberikan (Bantuan) kepada Pemkot Surabaya. Namun bantuan 30 bus, tersebut ditolak oleh Pemkot Surabaya.
Karena 30 bus, sudah terlajur dibeli, oleh Kemenhub. Oleh Kemenhub, bantuan 30 bus tersebut dialihkan kepada Pemerintah kota Sidoarjo. Yang beroperasi hanya rata-rata 10 bus, per hari. Yang 20 unit, mengangur, terancam dimakan karat. Bersambung. (rurin)