JAKARTA, NusantaraPosOnline.Com-Pemerintah
memastikan pelaksanaan skema baru untuk gaji perangkat desa yang rencanahnya akan
dilaksanakan paling lambat akhir Maret 2019.
Skema baru ini bersifat minimum, yaitu desa masih dapat mengalokasikan tunjangan
bagi perangkat desa. Keputusan ini telah disepakati dalam rapat tingkat menteri
yakni Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK),
Menteri Keuangan (Menkeu), Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Kepala Bappenas,
Menpan-RB, serta Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi.
“Persiapan teknis seperti yang kami pernah sampaikan dan presiden sampaikan ini
harus selesai sebelum 28 Januari. Hari ini tanggal 24 Januari, alham dulilah
sudah selesai dilakukan dengan kesepakatan seluruh menteri yang hadir,” Kata Menko
PMK Puan Maharani sesuai rapat tingkat menteri di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Kamis
24 Januari 2019.
Puan memaparkan,
untuk ke pala desa gaji atau pengasilan tetap (siltap) setara dengan gaji pkok
PNS golongan IIA. Sementara untuk sekretaris desa sebesar 90% dari gaji kepala
desa. Untuk perangkat pelaksana besarannya adalah 80% dari gaji ke pala desa.
“Pemberian penghasilan tetap kepada perangkat desa dan pelaksana desa
selambat-lambatnya insyallah kami lakukan pada akhir Maret 2019,” Terangnya. Terkait
sumber alokasi gaji, Menkeu Sri Mulyani tidak menjelaskan secara spesifik.
Dia mengatakan, alokasi diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
(APBDes). Di mana APBDes berasal dari banyak sumber. Mulai dana desa (DD),
alokasi dana desa (ADD), dana bagi hasil, pendapatan asli desa, dan lainnya. Sebagian
besar (APBDes) tetap dipakai untuk pembangunan daerah, sebesar 70%.
“Sedangkan untuk keperluan operasional di desa yang 30% definisinya ada di
situ. Jadi, tetap akan menggunakan APBDes, termasuk sumber ADD dari APBD yang
dilakukan kabupaten dan kota,” Terangya. Dia juga memastikan tidak akan ada
penurunan penghasilan saat skema baru diterapkan.
Menurut dia, jika mengalami penurunan maka akan terjadi demoralisasi. Seperti
diketahui banyak desa yang sudah mengalokasikan gaji lebih tinggi dibandingkan
dengan skema baru.
“Jadi, dalam
peraturan perundang-undangan atau peraturan
pemerintah nanti disebutkan adalah minimal.
Untuk daerah lain yang akan memberikan tunjangan adalah optional. Ini karena
nanti ada daerah yang sudah sangat makmur di mana mereka memberikan tunjangan
yang jauh lebih besar, dari sekema yang
tersebut.” ujarnya.
Menteri Desa, PDT, dan Transmigrasi Eko Putro Sanjojo menyebut, banyak
perangkat desa sebenanya sudah memiliki gaji di atas gaji pokok PNS golongan
IIA.
Hal ini akan bermanfaat bagi desa-desa yang belum mencapai angka tersebut.
“Daerah yang BUMDes-nya sukses, ada kepala desa yang pendapatannya di atas Rp10
juta. Jadi, ini untuk daerah yang itunya belum tercapai.
Jadi itu minimalnya. Tidak mengubah yang sudah tinggi,” ungkapnya. Eko
mengatakan akan melakukan perhitungan untuk memformulasi ulang dana desa. Hal
ini dilakukan terutama untuk daerah-daerah tertinggal.
“Hal ini supaya komponen pembangunannya bisa ditarik dari dana desa. Tidak
ditarik dari ADD. agar ADD-nya bisa sepenuhnya digunakan untuk penghasilan
tetap (perangkat desa),” katanya.
Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng berangapan bahwa, kebijakan baru tersebut pasti akan mencukupi kebutuhan perangkat desa.
Tapi, dia
mempertanyakan kebijakan pemerintah pusat ini apakah sudah dibicarakan dengan
pemerintah daerah. Apalagi jika tetap bersumber dari ADD. “Selama ini kan
alokasi dari ADD. Yang saya tahu banyak daerah yang merasa tidak diajak bicara
soal kebijakan pusat,” ungkapnya.
Terkait dengan kemungkinan diperbolehkannya DD untuk gaji aparat desa, Endi
menilai hal tersebut mengkhianati semangat UU Desa. Menurut dia, DD sebenarnya
diarahkan untuk belanja modal seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan,
pemberdayaan, kesehatan, dan lainnya.
“Jadi selama PP belum diubah tetap bersumber dari ADD. Tapi jika PP 47/2015
diubah dan memperbolehkan DD untuk gaji, maka bisa mengganggu layanan publik,”
tandasnya. Ia juga mengkritik pemerintah pusat yang mengeluarkan kebijakan
tanpa melihat profil keuangan daerah.
Selain itu, pemerintah pusat dinilai melanggar disiplin siklus anggaran yang
mana saat ini sudah berjalan. “Ini kan APBD sudah jalan. APBDes juga sudah.
Kalau setelah PP ditetapkan tentu tidak bisa langsung jalan. Saya pikir para
aparat desa juga tidak akan langsung menerima pendapatan baru itu. Biasanya
akan dirapel beberapa bulan. Ini harus dikomunikasikan,” Tegas Edi. (bd)