Hukrim  

Ini Penjelasan Mantan Dirjen Hubla, Soal 30 Ransel Berisi Uang Rp 18,9 Milyar Dikamarnya

Mantan Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Kementerian Perhubungan RI, Antonius Tonny Budiono

JAKARTA, NusantaraPosOnline.Com-Mantan Direktur Jenderal Perhubungan Laut (Dirjen Hubla) Kementerian Perhubungan RI, Antonius Tonny Budiono mengaku sudah tidak ingat soal ada 30 ransel duit senilai kisaran Rp 18,9 milyar.

Puluhan ransel duit itu ditemukan dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK Tonny pada Rabu 23 Agustus 2017 beberapa waktu lalu, Mess Perwira Bahtera Suaka (rumah dinas Kemenhub RI), di kawasan Gunung Sahari, Jl Gunung Sahari, Jakarta Pusat.

“Uang ditaruh di dalam 30 tas ransel, saya tahu dari penyidik,” ujar Tonny saat bersaksi di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin 18 Desember 2017.

Tonny memberikan kesaksian untuk terdakwa Komisaris PT Adhiguna Keruktama Adi Putra Kurniawan yang didakwa menyuap Direktur Hubla Kementerian Perhubungan (Dirjen Hubla) Antonius Tonny Budiono senilai Rp 2,3 miliar terkait pelaksanaan pekerjaan pengerukan pelabuhan dan Surat Izin Kerja Keruk (SIKK).

Menurut Tonny, duit dalam ransel itu berisi uang dari berbagai mata uang. “Ada dolar Singapura, dolar AS, ringgit Malaysia, poundsterling karena setiap tahun mengikuti sidang di London,” kata Tonny. Jika dia sedang bertugs di Singapura mengikuti pertemuan tiga pihak antara Singapura, Indonesia dan Malaysia sehingga ia menyimpan dalam bentuk dolar Singapura. “Hanya kalau uang dalam 1.000 dolar Singapura itu dari pemberian,” ujarnya.

Menurut Tonny, uang itu dikumpulkannya selama bertahun-tahun. “Bahkan ada yang sudah meleleh karena menempel. Ada uang istri saya juga sebagai guru, karena dapat dari wali murid mendapat saat kenaikan kelas.”

Dalam dakwaan disebutkan Adi Putra Kurniawan membuka beberapa rekening di Bank Mandiri menggunakan KTP palsu dengan nama Yongkie Goldwing dan Joko Prabowo sehingga pada 2015–2016 membuat 21 rekening di bank Mandiri cabang Pekalongan dengan nama Joko Prabowo.

Ia bertujuan kartu bank ATM-nya dapat diberikan kepada orang lain, yaitu anggota lembaga swadaya masyarakat (LSM), wartawan, preman di proyek lapangan, rekan wanita dan beberapa pejabat di Kementerian Perhubungan (Kemengub).

Tonny mengaku, sebelum ditangkap pada 23 Agustus 2017 dalam OTT KPK sempat menghadiri sejumlah kegiatan pada pagi harinya.

“Pada pagi harinya, saya menghadiri kegiatan di Mabes Polri untuk Natal mendampingi Pak Menteri kemudian ke satu hotel untuk menghadiri acara masyarakat kereta api. Saya juga Plt Dirjen Kereta Api, lalu saya ke kemenko Maritiim,” ujarnya.

Ia menimpali, “Saya pulang 18.30, lalu pintu saya ketok-ketok, tapi saya tidak buka dan saya hanya katakan `Mohon maaf urusan kantor silakan ke kantor`. Ternyata, yang datang orang KPK.”

Saat itu, Tonny menyatakan, dirinya hanya mengenakan singlet dan celana pendek, dan mengaku biasa menyimpan uang tunai di dalam rumah.”Uang-uang itu berasal dari uang perjalanan dinas, uang pribadi almarhumah istri saya dan uang dari kontraktor, dan pengurusan izin,” ungkapnya.

Salah satu asosiasi pengurusan izin yang memberikan uang kepadanya adalah seseorang yang dipanggil sebagai Ibu Billy oleh Tonny, jumlahnya senilai 30.000 dolar Amerika Serikat (AS). “Lalu dari PT Dumas 10.000 dolar AS, perusahaan Safik 50.000 dolar AS, Harsono Rp30 juta,” tambahnya.

Selanjutnya jaksa KPK juga mennyakan “Kenapa uang dari pemberian-pemberian itu tidak dilaporkan ke KPK?”, Tonny Budiono pun menjawab: “Itu kesalahan saya tidak melaporkan.”

Adi Putra Kurniawan didakwa berdasarkan pasal 5 ayat (1) huruf b atau pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pasal tersebut berisi tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah padahal diketahui bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp 250 juta. (bd)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!