MOJOKERTO, NusantaraPosOnline.Com-Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Mojokerto akhirnya memanggil, M Kosim, Kepala desa (Kades) Kedunggede, Kecamatan Dlanggu, terkait dugaan pungutan liar kegiatan program sertifikat tanah PTSL (Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) di desa tersebut.
Pemeriksaan ini terkait dengan munculnya laporan atas dugaan pungutan liar (pungli) yang menimpa ratusan warga desa Kedunggede.
Salah seorang perangkat desa Kedunggede, yang keberatan disebutkan namanya, mengatakan hari ini Kades Kedunggede, Kosim. Dipanggil Kejari Mojokerto.
“Terkait kasus pungutan liar, yang berdalih program sertifikat tanah PTSL di desa Kedunggede, mulai ditangani Kejari Mojokerto. Kejari sudah memanggil Kades Kedunggede, Kosim. Panggilanya hari Kamis 27 Mei 2021. Surat panggilan bernomer R-94/M.5.23/Dek 1/05/2021. Tertanggal 25 Mei 2021. Ini surat panggilanya.” Kata sang perangkat, Kamis siang (27/5/2021). sembari menunjukan bukti surat panggilan, dari Kejari Mojokerto.
Sang perangkat desa, meminta wartawan mengawal proses hukum kasus ini. Agar kasus ini betul-betul ditangani Kejari. “Tolong proses hukum kasus ini dipantau terus, karena kasus pungli terjadi di desa Kedunggede. Dan korbanya sekitar 700 warga setempat. Kalau dipantau terus oleh wartawan dan Lsm, agar proses hukum kasus ini berjalan.” Ujarnya, sambil wanti-wanti tidak disebutkan namanya.
Diberitakan sebelumnya, ratusan warga di Desa Kedunggede, diduga menjadi korban pungutan liar (Pungli) yang dilakukan oleh Pemerintah desa setempat. Yang merugikan warganya sendiri hingga ratusan juta rupiah.
Pungli tersebut dengan modus, pungutan untuk biaya persiapan pendaftaran sertifikat tanah melalui PTSL yang dikenal warga setempat program sertifikat tanah pemutihan atau program sertifikat tanah gratis dari Jokowi atau Joko widodo.
Menurut salah seorang perangkat desa setempat, yang keberatan disebutkan namanya, praktek Pungli tersebut, berawal tahun 2020 lalu, di interen Pemdes Kedunggede mengadakan rapat-rapat. Inti yang dibahas dalam rapat, yakni Pemdes Kedunggede, akan mengajukan program sertifikat tanah gratis (program sertifikat PTSL), untuk itu kemudian dibentuklah panitai didesa, yang ditunjuk jadi ketua panitia PTSL yaitu Muklisin.
“Dalam rapat interen Pemdes juga membahas biaya yang akan dipungut kepada warga pemohon. Waktu itu muncul kesepakatan biaya yang akan dipungut kewarga pemohon kisaran Rp 750 ribu hingga Rp 900 ribu. Setelah terbentuk panitia didesa, perangkat desa melakukan ledang (Pidato keliling kampung) yang intinya Ledang tersebut, memberitahukan kepada warga, bahwa Pemdes Kedunggede, membuka pendaftaran sertifikat gratis di kantor desa, setempat. Selanjutnya banyak warga yang datang kekantor desa untuk mendaftar, saat mendaftar warga dipungut biaya, besarnya pungutan bervariasi mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 750 ribu.” Kata sang perangkat desa, yang wanti-wanti tidak disebutkan namanya.
Setahu saya warga yang mendaftar ada sekitar 700 warga. “Pungutan itu mulai menjelang bulan puasa tahun 2020 (Idul Fitri 1441 H). Namun hingga sekarang ternyata desa Kedunggede, belum mendapatkan program sertifikat gratis tersebut (Program PTSL), sudah hampir 1 tahun belum ada kejelasan, oleh karena itu warga banyak yang mempertanyakan ke Pemdes setempat. Uang hasil pungutan tersebut dikemanakan, selebihnya saya tidak tahu, tanya saja ke Pak Kades Kosim, atau keperangkat desa yang lain.” Kata sang perangkat desa.
Ia menambahkan, waktu itu tidak ada sosialisasi kepada warga, termasuk biaya juga tidak ada sosialisasi ke warga. Hanya ada pidato ledang keliling kampung saja.
Menurut, WN (40) Warga setempat, yang juga korban Pungli, mengatakan desa Kedunggede, berjumlah 8 dusun, yang mendaftar juga banyak.
“Mungkin lebih dari 700 orang. Saya bersama saudara saya mendatangi Kantor desa, untuk mendaftar 7 bidang tanah. Saat mendaftar kami diminta bawa KTP, dan diminta membayar sebesar Rp 500 ribu, persertifikat. Namun sampai hari ini sertifikat yang kami ajukan tidak ada kejelasan dari Pemdes. Yang aneh lagi besarnya pungutan bervariasi, ada warga yang dipungut sampai Rp 750 per bidang tanah, ada juga warga yang dipungut Rp 250 ribu perbidang tanah.” Kata WN, Kepada NusantaraPosOnline.Com yang diamini oleh puluhan warga atau korban lainya, Minggu (25/4/2021).
WN, menambahkan, jika dihitung sejak menjelang puasa 2020 lalu, hingga puasa 2021 ini sertifikat yang diajukan warga belum selesai. Bahkan tanah yang diajukan warga untuk disertifikatkan sampai sekarang belum ada pengukuran tanah oleh BPN (Badan pertanahan nasional) Mojokerto. “Bahkan kami mendengar kabar bahwa desa kami, hingga sekarang belum mendapat program sertifikat pemutihan (Program PTSL). Warga merasa ditipu, kami berharap penegak hukum, untuk membantu kami untuk mengusut kasus Pungli desa Kami.” Ujarnya.
Ia berharap, penegak hukum melindungi rakyat yang kecil “Kami ini rakyat kecil, mohon penegak hukum lindungi kami usut kasus ini. Yang jadi korban kasus ini bukan orang-orang kaya. Bahkan ada warga yang janda dipungut Rp 750 ribu, uang tersebut dapat dari pinjaman (Hutang). Jadi sekali lagi, kami mohon kepada penegak hukum mengusut kasus Pungli didesa kami.” Ujar WN, berharap.
Ditempat yang sama, menurut YT (45), ia mengaku ikut mendaftar sertifikat pemutihan dan juga dipungut biaya oleh Pemdes Kedunggede. “Saya bersama saudara saya mendaftar untuk 3 bidang tanah, dan dikantor desa kami dipungut Rp 750 perbidang. Uangnya sudah kami bayar. Padahal setahu saya di kabupaten lain program PTSL hanya dipungut biaya Rp 150 ribu. Kok di Pemdes Kedunggede, dipungut biaya sampai Rp 750 ribu, artinya ini Pungli. Yang lebih parah lagi warga ditipu karena sampai sekarang program PTSL didesa kami tidak ada. Yang jadi korban Pungli ini jumlahnya ratusan warga.” Ucap YT.
Ditempat terpisah, kasus ini mendapat perhatian Lsm Arak (Aliansi rakyat anti korupsi) Jawa timur) hal ini disampaikan koordinator Lsm Arak Jawa timur, Safri nawawi, ia mengatakan kami mengetahui kasus ini, berdasarkan laporan warga setempat kepada kami. Setelah itu kami menurunkan tim investigasi dilapangan. Tim kami menemui ratusan warga yang mengajukan / mendaftar sertifikat tahan program PTSL di kantor Pemdes setempat.
“Hasilnya, ratusan warga yang berhasil kami temui, mereka mengaku pada tahun 2020 lalu, mereka dikenakan biaya bervariasi, mulai dari kisaran Rp 500 ribu hingga Rp 750 ribu. Ada yang sudah membayar lunas ada juga yang belum lunas masih bayar panjer (uang muka). Dan mereka menyerahkan uang / membayar kepada perangkat desa. Dan menurut informasi dari perangkat desa dan dari warga, peserta yang mendaftar kisaran 700 orang.” Terang Safri Minggu malam (25/4/2021).
Menurut Safri, dari temuan tersebut, kami berpendapat ada dugaan praktek korupsi yang dilakukan oleh Pemdes Kedunggede pada kasus ini. Karena pungutan tersebut sama sekali tidak ada dasar hukum, ada dugaan terjadi penyalahgunaan jabatan.
“Sebagai mana kita ketahui unsur korupsi ada empat, yakni : Unsur penyalahgunaan jabatan; Unsur melawan hukum; Unsur memperkaya diri atau orang lain; dan Unsur kerugian. Artinya Pungutan ini ada pihak-pihak yang diuntungkan, dan ada pihak yang dirugikan yaitu warga (kerugian perekonomian masyarakat).” Terang Safri.
Safri Menegaskan, untuk membuktikan dugaan korupsi ini (Dugaan penyalahgunaan jabatan, perbuatan melawan hukum, membuktikan pihak yang diuntungkan, dan membuktikan kerugian perekonomian masyarakat) itu tugas penegak hukum.
“Oleh karena itu kasus ini akan kita laporkan kepada penegak hukum (Kejaksaan / Polisi), agar semuanya terang benderang, agar ada kepastian hukum. Siapapun yang salah harus dihukum.” Ujarnya.
Safri juga menegaskan, menurut Surat keputusan bersama tiga menteri, yakni Menteri Agraria dan Tata ruang / Kepala BPN; Menteri dalam negeri (Mendagri); Menteri desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Menteri PDTT), Nomer 25 / SKB / V / 2017; Nomer 590-31674 tahun 2017; Nomer 34 tahun 2017. Tentang pembiayaan persiapan program PTSL.
“Pada diktum ke Tujuh, poin lima. Dalam SKB tiga menteri tersebut, menjelaskan bahwa besaran biaya yang diperuntukkan untuk persiapan pelaksanaan program PTSL untuk katagori V (wilayah Jawa dan Bali) pemerintah desa hanya diperbolehkan memungut Rp 150 ribu per bidang tanah dari pemohon. Sedangkan desa Kedunggede ini ada dipulau Jawa, jadi tidak ada alasan untuk memaksa memungut warga lebih dari Rp 150 ribu.” Tegasnya.
Safri juga merincikan, uang Rp 150 tersebut, untuk biaya kegiatan penyiapan dokumen di desa, pengadaan patok dan materai, dan untuk membiayai operasional petugas kelurahan/desa selama kegiatan persiapan (pendaftaran PTSL) di desa/ Kelurahan.
“Jadi warga yang membayar Rp 150 ribu, tidak boleh dipaksa dipungut biaya diatas Rp 150 ribu. Lebih dari Rp 150 itu namanya pungli.” Kata dia.
Safri juga mencontohkan, warga yang sudah membayar uang pendaftaran program PTSL di desa / kelurahan Rp 150 tidak boleh dipungut biaya lain-lain, contohnya biaya ukur, biaya materai, biaya patok, biaya segel, pajak BPHTB, biaya pengurusan surat-surat didesa.
“Karena Kades dan perangkat desa sudah digaji negara mereka punya kewajiban melayani surat-surat yang dibutuhkan warga, dan dalam program PTSL tidak ada sarat harus beli kertas segel, dan tidak dipungut pajak BPHTB. Hal ini saya sampaikan agar masyarakat mengerti, dan tidak jadi korban Pungli.” Pungkasnya.
Terkait kasus ini, pada hari Senin 24 Mei 2021, puluhan warga Desa Kedunggede, mengeruduk kantor Kades Kedunggede, untuk meminta pertanggung jawaban M Kosim, selaku Kades Kedunggede, atas perkara dugaan pungutan liar (Pungli) pengurusan atau Pendaftaran Sistematis Tanah PTSL tahun 2020 lalu, yang sampai hari ini tidak jelas jluntrungnya. Yang terjadi di desa Kedunggede.
Namun saat warganya, mengeruduk kantor Desa, Kades Kedunggede M Kosim, tidak terlihat batang hidungnya di kantor desa.
Terkait perkara ini, Kades Kedunggede M Kosim, beberapa kali dimintai kofirmasi, sulit untuk ditemui. “Ini saya sedang ada rapat di Pendopo Kabupaten, Mojokerto, nanti tak hubungi.” Ujar Kosim. (Rin)