Korupsi Masal Anggota Dewan Itu Kesalahan Parpol

Tri Yudiani (tengah) dan Sulik Lestyowati (kanan) dua orang termasuk dari 41 Anggota DPRD Kota Malang priode 2014 - 2019, yang menjadi tersangka kasus suap pembahasan APBD-P Pemerintah Kota Malang tahun anggaran 2015.

NusantaraPosOnline.Com- Fenomena yang sangat memalukan bangsa banyak anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang kini meringkuk di balik jeruji karena tersangkut kasus korupsi.

Betapa tidak di Kota Malang Jawa timur, ada 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang, Jawa Timur, terlibat korupsi berjamaah. Satu per satu mereka mengenakan rompi tahanan. Senin 3 September 2018 petang, sebanyak 22 anggota DPRD Kota Malang jadi tersangka digiring ke mobil tahanan.

Mereka menyusul 19 anggota DPRD kota Malang lainnya yang sudah lebih dulu ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Status mereka berbeda-beda, dari tersangka hingga terpidana, tapi dalam kasus yang sama yakni menerima uang suap dari wali kota non-aktif Malang Moch Anton.

Kasus itu terbongkar setelah KPK menangkap ketua DRPD Kota Malang Arief Wicaksono lewat operasi tangkap tangan (OTT) tahun lalu. Ia diduga menerima suap dari Wali Kota Malang non-aktif Mochamad Anton dalam kaitan pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan Kota Malang tahun 2015.

Arief Wicaksono dituduh mengambil jatah Rp 100 juta dari total suap Rp 700 juta. Sisa uang sogok itu kemudian dibagi-bagikankan ke para anggota Dewan. Komisi antikorupsi juga sedang menyelidiki kasus gratifikasi Rp 5,8 miliar untuk anggota DPRD Kota Malang terkait proyek pengelolaan sampah.

Praktik Kotor Itu Tak Hanya di Malang
Kejadian di DPRD Kota Malang tersebut menunjukkan betapa kotornya proses pengesahan anggaran daerah. Anggota Dewan menyalahgunakan fungsi budgeting untuk “memeras” eksekutif.

Begitupun sebaliknya, kepala daerah pun lebih memilih menyuap ketimbang menerapkan penyelenggaraan pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Fungsi pengawasan Dewan akhirnya menjadi lemah karena para wakil rakyat cenderung kongkalikong dengan eksekutif untuk melakukan korupsi secara bersama-sama.

Praktik kotor ini terjadi di banyak daerah, baik di tingkat pusat Kementrian, provinsi maupun kabupaten atau kota. Modus yang dilakukan hampir sama dilakukan pula oleh DPR. Masih segar dalam ingatan kita bekas Ketua DPR Setya Novanto dijebloskan ke penjara karena korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP). Menurut fakta yang terungkap di pengadilan, puluhan anggota DPR dari berbagai fraksi juga turut menerima uang sogok dari konsorsium pemenang proyek e-KTP.

Masih segar dalam ingatan kita wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih, barusaja dijebloskan ke penjara karena korupsi proyek diduga menerima suap dari Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd. Perusahaan tersebut merupakan salah satu bagian dari konsorsium proyek PLTU Riau-1.

Kembali ke Korupsi Massal di Malang, kasus tersebut memecah rekor sebelumnya yang menjerat 38 anggota DPRD Sumatera Utara (Sumut). Mereka semua diduga menerima suap sekitar Rp300 juta – Rp500 juta dari mantan Gubernur Sumut, Gatot Pujo Nugroho, terkait sejumlah hal. Yakni, proses persetujuan laporan pertanggungjawaban Pemprov Sumut periode 2012-2014, persetujuan perubahan APBD 2013 dan 2014, serta penolakan penggunaan hak interpelasi DPRD Sumut pada tahun 2015.

Selain Sumut, ada pejabat DPRD lain yang pernah terlibat suap-menyuap. Yakni, 6 anggota DPRD Musi Banyuasin (Muba), dalam kasus Perubahan Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RAPBD) Muba Tahun Anggaran 2015 dan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Bupati 2014.

Masih adalagi di Kota Mojokerto Jawa timur, tiga pimpinan DPRD Kota Mojokerto, yakni yakni Ketua DPRD Kota Mojokerto Purnomo, serta dua wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto Umar Faruq dan Abdullah Fanani, juga dijebloskan kepenjara, dan divonis 4 tahun penjara, karena terbukti menerima uang suap dari Kepala Dinas PUPR Kota Mojokerto Wiwiet Febrianto sebesar Rp 470 juta, terkait pembahasan anggaran APBD Kota Mojokerto.

Atau, pada kasus suap pembahasan revisi Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2010 tentang Dana Pengikatan Tahun Jamak untuk pembangunan venue pada kegiatan Pekan Olahraga Nasional (PON) Riau 2012. Dari kasus itu, sebanyak 9 anggota DPRD terseret, bahkan Gubernur Riau kala itu, Rusli Zainal, terbukti menyuap anggota DPRD tersebut melalui para penggarap proyek venue.

Jika dirunut lagi ke belakang, data yang lebih mengejutkan perihal korupsi massal, terjadi di DPRD Sumatera Barat (Sumbar). Saat itu Kejaksaan Tinggi Sumbar di bawah pimpinan Kajati Antasari Azhar (sebelum menjadi Ketua KPK), menetapkan seluruh anggota DPRD Sumber 1999-2004 yag berjumlah 65 orang sebagai tersangka dalam kasus penggunaan APBD.

Namun hanya 43 anggota Dewan yang sudah diputus bersalah oleh pengadilan. Pada 17 Mei 2005 silam, Pengadilan Negeri Padang menjatuhkan vonis dua tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider dua bulan kurungan kepada 43 orang anggota DPRD Sumbar. Mereka dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi APBD 2002 yang merugikan keuangan negara sekitar Rp 4,9 miliar.

Fakta-fakta korupsi massal ini sangat mengerikan. Korupsi yang telah merajalela di tingkat atas (nasional) pada akhirnya menetes juga ke tingkatan yang lebih rendah, dalam hal ini pemerintahan daerah. Otonomi Daerah (desentralisasi) yang diberikan pada daerah guna membangun kemandirian pembangunan dan pemantapan pelayanan publik, ternyata berbanding lurus dengan desentralisasi prilaku korupsi.

Letak Kesalahan Parpol
Seharusnya partai politik lah yang disiplin untuk mencari calon anggota DPR berintegritas dan punya rekam jejak yang baik sehingga saat Pemilu nama parpol tersebut ikut terangkat.

Jadi, kalau sudah ada calon yang ketahuan terlibat korupsi atau berpotensi melakukan korupsi, maka sebaiknya gak dipilih. Jadi, yang dipilih memang figur-figur yang mendukung transparansi.

Korupsi anggota dewan di daerah, selain memang karena benteng moral individu maisng-masing yang rapuh, partai politik lah yang seharusnya bertanggung jawab terhadap fenomena ini, karena Parpol sebagai “biang kerok”. Sebab, para legislator tersebut lahir dan diusung lewat partai-partai politik yang memang sejak awal bermasalah.

Budaya transaksional di tengah biaya politik yang mahal dari mulai perekrutan hingga pencalonan kader, jadi pemicu politisi dan pemangku kuasa memburu rente. Praktik demikian menjadi hal yang lumrah di hampir semua Parpol.

Adagium bahwa partai politik hanya memproduksi politikus, bukan negarawan, akhirnya terus mendapat konfirmasi dalam kultur politik saat ini. Bahkan lebih parah, alih-alih menciptakan pemimpin-pemimpin negeri yang cemerlang, parpol malah lebih sering diidentikkan sebagai entitas penghasil koruptor. Partai politik di Indonesia gagal menjadi penegak demokrasi, sebaliknya turut andil sebagai perusak demokrasi.

Pada akhirnya, semua permasalahan berpulang pada rakyat. Sebagai pemilik kedaulatan, kualitas DPR berikutnya sangat ditentukan oleh kualitas pilihan rakyat terhadap wakil-wakilnya itu.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!