Politik

Mahar Politik Pemicu Kecurangan Pilkada

×

Mahar Politik Pemicu Kecurangan Pilkada

Sebarkan artikel ini

JAKARTA, NusantaraPosOnline.Com –Dalam sebuah kajian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang membahas tentang mahar politik yang berpotensi korupsi dalam Pilkada 2018.

Dalan diskusi tersebut ICW merilis, kecurangan paling rawan terjadi di 5 provinsi, yakni Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Riau, karena kasus korupsi yang berulang di sana.

Peneliti ICW, Almas Sjafrina, mengatakan Sumatera Utara paling rawan lantaran dua gubernurnya berturut-turut ditangkap karena perkara korupsi. Dalam kurun waktu 2010 hingga Juni 2017, penegak hukum menangani 237 kasus korupsi di provinsi itu –terbanyak dibanding di daerah lain.

“Ada potensi kasus tersebut terulang kembali, mengingat daerah strategis, anggaran besar, dan jumlah pemilih yang masif,” Paparnya kepada wartawan, Selasa, (16/1/2018).

Di Riau, 3 Gubernur yang menjabat sejak 1998 pun dibui karena mencuri uang daerah. Sebanyak 153 kasus korupsi ditangani di sana selama 2010 hingga Juni 2017 dengan kerugian negara sebesar Rp 3,85 triliun dan nilai suap Rp 41 miliar. Dalam pilkada 2018, Riau mengadakan pemilihan gubernur, pemilihan bupati di Indragiri Hilir, dan pemilihan wali kota di Tanjungpinang.

Dari paparan ICW pun menyebutkan kembali fakta dalam sidang tindak pidana korupsi ihwal kepala daerah yang menggangsir anggaran, menerima suap, dan menjual jabatan untuk modal maju dalam pemilihan berikutnya.

Di Jawa Tengah, Wali Kota Tegal Siti Masitha menerima suap Rp 8,89 miliar untuk penempatan jabatan dan pemenangan proyek pemerintah daerah. Dia akan menggunakan uang itu untuk pilkada 2018, tapi diciduk KPK sebelum sempat mencalonkan diri.

Selanjutnya Bupati Klaten Sri Hartini, yang menjual berbagai jabatan kepala dinas. Dengan cara itu, Sri diduga memperoleh Rp 12,8 miliar untuk modal pilkada. Kini, dia divonis 11 tahun penjara. Jawa Tengah akan menyelenggarakan pemilihan gubernur, enam pemilihan bupati, dan satu pemilihan wali kota di Tegal pada Juni mendatang.

Di Jawa Timur, ada potensi penyalahgunaan dana desa untuk modal pemilihan karena ada tiga kepala desa yang menjadi calon wakil bupati.

Modal diperlukan dalam pemilihan tidak hanya untuk mendanai kampanye, tapi juga untuk memenuhi permintaan setoran awal alias mahar partai politik. Patut diduga, kata Almas, setoran itu juga akan digunakan partai politik untuk mendanai pencalonan dalam pemilihan presiden 2019 karena tahap pemilihan yang berimpitan.

“Partai memanfaatkan pilkada untuk mencari modal pilpres, karena tidak ada waktu lagi untuk menghimpun dana,” tuturnya.

Ketua Bidang Kehormatan PDIP, Komarudin Watubun, mengatakan partainya memang meminta calon kepala daerah berbagi biaya pemenangan. Namun biaya kampanye amat besar, sehingga sulit bagi partai jika ingin menjadikan kontribusi itu modal untuk maju dalam pemilihan presiden. “Tapi, sepanjang dalam definisi cost politik, boleh saja kontribusi pilkada digunakan untuk pilpres,” Kata Komarudin.

Semantara kenurut Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar, Yorris Raweyai, mengatakan mahar politik dalam pilkada hampir tidak mungkin menjadi modal untuk pilpres. Sebab, dia melanjutkan, biaya kampanye calon kepala daerah amat besar.

“Itu saja sudah ditanggung bersama-sama dengan partai,” Kata Yorris. Belum lagi bila ada oknum anggota partai yang mengantongi setoran kepala daerah untuk kepentingan pribadi. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!