Menyoal Anggaran ‘Pokir’ DPRD Jombang Di P-APBD 2018

POKIR DPRD JOMBANG : Kantor DPRD Jombang, Jawa Timur

JOMBANG, NusantaraPosOnline.Com-Setelah melalui empat kali sidang paripurna Dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) Jombang periode 2014-2019, pada tanggal 3 September 2018 berhasil dengan mulus mengusulkan anggaran proyek titipan siluman sebesar Rp 15 milyar, kedalam  Perubahan Anggaran daerah (P-APBD) 2018. Anggaran yang kemudian mereka sebut sebagai dana Pokok-Pokok Pikiran (Pokir) DPRD Jombang.

Anggota DPRD Jombang yang berjumlah 50 orang, tersebut akan mendapatkan jatah dana Pokir Rp 300 juta perorang.

Apa Itu Pokir DPRD ? Istilah Pokir tercantum pada Pasal 55 huruf (a) PP No : 16 Tahun 2010. Salah satu tugas Badan Anggaran (Banggar) DPRD yakni :

“Memberikan saran dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD kepada kepala daerah dalam mempersiapkan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah paling lambat 5 (lima) bulan sebelum ditetapkannya APBD”.

Dalam Pasal 55 huruf (a) ketentuan ini harus dibaca sebagai berikut : Pertama : Penyampaian pokir DPRD adalah tugas Badan Anggaran (Banggar) DPRD sebagai salah satu alat kelengkapan DPRD. Hanya Badan Anggaran DPRD yang memiliki tugas ini; Kedua : Disampaikan kepada kepala daerah. Karena tidak ada ketentuan yang berbunyi pemerintah daerah atau kepala daerah atau yang mewakilinya, maka penyampaian pokir disampaikan langsung kepada kepala daerah; Ketiga : Sebatas saran dan pendapat. Dalam konteks hukum, saran dan pendapat tidak bersifat mengikat, atau tidak wajib untuk dilaksanakan. Banggar DPRD menyampaikan saran dan pendapat kepada kepala daerah, keputusan menerima atau menolak saran dan pendapat itu ada sepenuhnya pada Bupati (kepala daerah); dan Keempat : Disampaikan paling lambat 5 (lima) bulan sebelum APBD ditetapkan.

Memang dalam PP 16 tahun 2010 mekanisme penyusunan dan penyampaian Pokir DPRD, tidak dijelaskan secara terperinci. Maka disinilah letak terjadinya multi tafsir tentang penerapan Pokir DPRD tersebut.

Ketua DPRD Jombang, mengkaitkan Pokir DPRD dengan hasil reses yang dilakukan oleh anggota DPRD. Reses yang menghasilkan sejumlah usulan-usulan yang berasal dari konstituens anggota DPRD di Dapil masing-masing.

Jika demikian Pokir DPRD sesungguhnya adalah nomen klatur atau atas dasar kesepakatan internasional yang mirip dengan “Penjaringan aspirasi masyarakat”.

Sebagaimana pernah tercantum dalam PP 1 Tahun 2001, dan PP 25 Tahun 2004 yang pada pokoknya menyatakan anggota DPRD mempunyai kewajiban menyerap, menghimpun, menampung dan menindak lanjuti aspirasi masyarakat.

Hanya kemudian PP 16 Tahun 2010 menegaskan, sebagai berikut :

“Aspirasi masyarakat” berbentuk Pokir DPRD tersebut menjadi tugas Banggar DPRD menyampaikannya kepada kepala daerah. Tetapi penjelasan itu tidak mengurangi berbagai masalah perihal Pokir DPRD.

Yang menjadi masalah adalah, apa wujud output dokumen dari pokir DPRD tersebut ? Secara kelembagaan, seharusnya pokir harus dalam bentuk keputusan pimpinan DPRD bukan berupa usulan dana proyek. Hal ini untuk menghindari klaim sepihak baik oleh anggota, pimpinan, komisi atau Banggar baik secara lisan maupun tertulis bahwa apa yang disampaikan tersebut adalah pokir DPRD secara kelembagaan bukan perorangan.

Sementara tata tertib DPRD maupun PP 16 tahun 2010 tidak mengurai secara terperinci bagaimana mekanisme dan tata cara hingga melahirkan dokumen negara yang disebut pokir DPRD. Ada keterputusan antara Tim Inventarisasi Hasil Reses yang mengkompilasi dan menilai laporan reses dari semua anggota DPRD kepada output berupa pokir DPRD yang selanjutnya diserahkan kepada Banggar. Ketidakjelasan ini, mengakibatkan masing-masing anggota DPRD, komisi bahkan fraksi menandaskan bahwa apa yang mereka sampaikan adalah pokir DPRD.

Ketidakjelasan apa itu pokir DPRD beserta mekanisme dan tata cara penyampaiannya berakibat munculnya praktek-praktek penyalahgunaan istilah “pokir” oleh anggota DPRD. Penyalahgunaan itu antara lain yakni berwujud :

  1. Pokir DPRD diasumsikan bahwa pokir adalah hak anggota DPRD karena berasal dari laporan hasil reses anggota DPRD perseorangan, daerah pemilihan. Anggota DPRD melakukan “penitipan proyek” di APBD perubahan baik secara perserorangan maupun lewat komisi berdalih atas nama pokir DPRD. Pembahasan P-APBD, antara Komisi DPRD dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) berujung pada usulan atau titipan proyek tertentu dari  masing-masing anggota DPRD dengan mengatasnamakan pokir DPRD. Padahal dalam PP 16 Tahun 2010 menegaskan, bahwa penyampaian Pokir DPRD kepada Bupati kepala daerah, adalah tugas Banggar.
  2. Dalam perkembangannya pelaksanaan pokir DPRD mengalami perubahan berubah wujud dari Pokir berubah menjadi uang atau dana. Pada dana jenis-jenis kegiatan atau disebut dana pokir. Titik tekannya pada dana, bukan pada pokir. Karena jenis kegiatan sudah jelas berupa angka-angka nominal, bukan berupa Pokir.
  3. Dalam perkembanganya Pokir, berubah menjelma menjadi sandi rahasia berupa kode untuk memainkan APBD. Istilah “pokir” telah diketahui umum dikalangan DPRD dan Pemerintah Daerah untuk menitipkan sejumlah proyek-proyek tertentu dalam APBD.

Oleh karenanya istilah “pokir” tidak lagi dimaknai sebagai pokir DPRD, Karena jenis kegiatan sudah jelas berupa angka-angka nominal, bukan berupa Pokir.

Oleh karenanya istilah “pokir” tidak lagi dimaknai sebagai pokir DPRD, Karena jenis kegiatan sudah jelas berupa angka-angka nominal, bukan berupa Pokir.

Cacatan Nusantara Pos, dana pokir merupakan ladang duit bagi anggota dewan. Banyak anggota DPRD yang hidup dari dana pokir. Jadi intinya, ini urusan perut. Praktek semacam ini sudah berlangsung lama. Dana pokir berkisar diangka Rp 250 juta hingga Rp 300 juta, per anggota DPRD. Dan sudah banyak anggota DPRD yang berjuang mati-matian untuk mengangarkan dana Pokir yang berakhir masuk penjara.

Misalnya baru-baru ini ramai jadi perbincangan pablik, terjadi kasus ‘Korupsi masal’ di  DPRD Kota Malang , dengan modus program pokir. Tercatat sebanyak 41 anggota dari 45 anggota DPRD periode 2014-2019 Kota Malang telah ditetapkan sebagai tersangka, dan mereka diseret kepenjara oleh KPK.

Dikutip dari halaman Trito.id, Kasus tersebut mulai terendus KPK pada 6 juli 2015 lalu, saat itu wali kota Malang  Moch Anton, Walikota Malang Sutiadji, dan kepala dinas PUPPB Kota Malang Jarot Edy sulistiyono, dan ketua DPRD kota Malang Moch Wicaksono, bertemu diruang kerja Arif.

Disana, Arif meminta sejumlah uang dengan istilah pokok-pokok pikiran (Pokir) DPRD. Disitulah kesepakatan jahat terjadi. Eksekutif akan memberikan persekot, sebagai imbalnya DPRD harus meloloskan nominal anggaran yang diajukan.

Menurut salah satu anggota DPRD Kota Malang yang masih belum ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, Subur Triono, saat bersaksi untuk 18 anggota DPRD Kota Malang di Pengadilan Tipikor Surabaya, Rabu (5/9) lalu. Ia becerita awal mulanya ‘korupsi masal’ tersebut.

Korupsi berjamaah itu bermula dari rapat antara Banggar DPRD Kota Malang dengan Tim Anggaran (Timgar) Pemkot Malang.  Saat itu, kata Subur, Timgar Pemkot Malang mengajukan usulan anggaran kepada DPRD di APBD-P 2015.

Selanjutnya,  tiap anggota dari tiap fraksi mengajukan usulan program dalam rapat tersebut. Pembahasan usulan program saat itu difasilitasi oleh Ketua DPRD Kota Malang Arief Wicaksono.

“Badan Anggaran (Tim Anggaran) Eksekutif Kota Malang mengajukan usulan ke DPRD Malang. Pembahasannya melibatkan mantan ketua DPRD Malang Arief Wicaksono,” ujar Subur

Setiap anggota fraksi, kata Subur, mengusulkan program sesuai daerah pemilihannya (dapil) dengan anggaran sebesar Rp 200 juta, tak terkecuali dirinya. Setelah pengusulan itu, Subur mengaku mempresentasikan programnya kepada setiap anggota DPRD di rumah dinas Arief.

Usai presentasi program itu, Arief kemudian memberikan uang pokok pikiran (pokir) yang belakangan ia ketahui merupakan uang suap dari Wali Kota Malang Mochamad Anton senilai total Rp 18 juta. Uang pokir itulah yang menyeret 41 anggota DPRD Malang ke bui.

Kasus seperti ini sebenarnya tidak hanya terjadi di kota Malang tetapi juga di daerah-daerah lain. Di Sumatera Barat, contohnya. Gambaran paling kongkret tampak jelas dalam kasus UPS di DKI, yang menyeret sejumlah nama anggota DPRD. Permainan pokok pikiran (pokir) yang disetor oleh oknum DPRD kepada SKPD justru mengacaukan program prioritas. Sekolah-sekolah justru dikirimi UPS, sekalipun mereka tidak membutuhkannya. Dan masih banyak kasus lainya didaerah-daerah lain.

Sebagai penutup, istilah pokir punya dua arti yang berbeda. Pokir dalam khasanah hukum diartikan sebagai hasil reses penjaringan aspirasi masyarakat. Pengertian yang diperluas maknanya dari Pasal 55 huruf (a) PP 16/ 2010. Arti lainnya, pokir atau “dana pokir” dalam bahasa politik birokrasi semacam sandi rahasia berupa titipan sejumlah proyek tertentu oleh anggota DPRD kepada pemerintah daerah.

Untuk hal yang terakhir ini, praktek-praktek tersebut tidak muncul ke publik karena antara DPRD dan Kepala Daerah (atau jajaran aparat pemerintah daerah) hubungannya “harmonis”. Tahu sama tahu. Yang penting semuanya berjalan aman lancar tertip dan terkendali.

*) Penulis : Safri Nawai, SH, koordintol Lsm Aliansi rakyat anti korupsi (Lsm Arak). Tulisan diambil dari berbagi sumber.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!