JAKARTA, NusantaraPosOnline.Com– Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK memeriksa sejumlah bos-bos atau pimpinan staf direksi PT Nindya Karya. Mereka diperiksa terkait kasus pelaksanaan pembangunan Dermaga Bongkar pada kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan Sabang yang dibiayai APBN tahun anggaran 2006-2011lalu.
Adapun beberapa orang yang diperiksa tersebut, antara lain adalah staf Direksi Haidar, Legal PT Nindya Karya Muhammad Ibrahim dan Penasihat Hukum Yunianto.
“Benar hari ini kami masih menanti kedatangan dari dua orang staf dan bagian legal consultant PT Nindya Karya sebagai korporate yang kami tetapkan sebagai tersangka kasus bongkar muatan di Dermaga,” kata Kepala Biro Humas KPK, Febri Diansyah KPK, Jakarta Selatan, Jumat, 11 Mei 2018.
Febri mengatakan, kita bakal mendalami kasus dengan mengajukan sejumlah pertanyaan terkait kasus korupsi proyek Dermaga di Sumatera Utara dan Nangroe Aceh Darusallam.
Kasus ini sebenarnya terjadi pada 2006. Pernah dilaporkan ke Kejaksaan RI, namun tak ada penanganan lebih lanjut hingga akhirnya mangkrak. Kasus ini kembali dibuka dan menjadi penyidikan KPK setelah dinyatakan merugikan negara oleh Kejaksaan. KPK menyatakan ada keganjilan dalam penanganan kasus yang dibuka kembali pada 2018 ini. Buntutnya, KPK memblokir sebuah nomor rekening.
“Betul ini memang kasus lama, mengenai proyek di tahun 2004 lalu,” terang Febri.
Sebelumnya, di tahun 2004 lalu proyek dermaga ini semula akan dikerjakan dengan anggaran Rp 7 Miliar. Namun, terkendala akibat bencana tsunami Aceh. Tapi proyek ini dinyatakan tetap berjalan dengan menelan anggaran senilai Rp 1,4 miliar sebagai panjer.
Dua tahun setelahnya atau pada 2006 anggaran kembali keluar sebesar Rp 8 miliar. Lalu Rp 24 miliar pada 2007, Rp 124 miliar di 2008, Rp 164 miliar pada 2009, Rp 180 miliar pada 2010, dan terakhir pada 2011 sebesar Rp 285 miliar. Diduga terjadi kerugian keuangan negara sekitar Rp 313 miliar dalam pelaksanaan pembangunan Dermaga Bongkar pada Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang ini.
Anggaran yang membengkak terjadi lantaran adanya unsur kesengajaan pengelembungan harga dalam penyusutan Harga Pokok Satuan (HPS). Selain Nindya Karya, perusahaan lain yang dianggap mengelola mekanisme proyek ini yakni PT Tuah Sejati juga ditetapkan sebagai tersagka. PT Tuah Sejati dianggap telah menerima laba senilai Rp 94,58 miliar. Dengan rincian Nindya Karya menerima Rp 44,68 miliar, dan Tuah Sejati senilai Rp 49,90 miliar.
Atas perbuatannya, PT Nindya Karya dan PT Tuah Sejati disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (jn)