SIDOARJO (NusantaraPosOnline.Com)-Bangunan 14 halte Bus Trans Sidoarjo (BTS) disorot oleh berbagai kalangan. Pasalnya bangunan halte tersebut, dinilai telah melangar Undang-undang No 34 Tahun 2006.
“Untuk fasilitas pendukung pengoperasian 30 bus BRT, bantuan Kemenhub tahun 2014, di kota Sidoarjo, ada 10 Halte, semua Halte tersebut bermasalah. 10 Halte dibangun diatas trotoar. Dan 2 halte dibangun diatas tanah yang tidak strategis. Sehingga 4 halte, sejak dibangun tidak sampai sekarang tidak difungsikan” Kata Safri Nawawi, Koordinator Lsm Aliansi rakyat anti korupsi (Lsm Arak), Jawa Timur.
Lebih lanjut Safri mengatakan, dalam Pasal 34 ayat 4 UU No 34 Th 2016 disebutkan secara jelas Bahwa trotoar merupakan sarana bagi para pejalan kaki untuk melintas di jalan raya.. Jadi bangunan 10 Halte, yang dibangun Pemkab Sidoarjo itu jelas-jelas melanggar aturan, karena bertentangan dengan UU No : 34 Th 2006, bukan hanya itu pembangunan 10 halte diatas trotoar tersebut juga betentangan dengan Peraturan Daerah (Perda) Pemanfaatan Badan Jalan.
Masalah ini sejak dibangun tahun 2015 lalu, sudah dipermasalahkan banyak kalangan. Tapi yang aneh Pemkab Sidoarjo, masih mencari pembenaran atas kesalahan tersebut. Melalui Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Joko Santoso, berdalih bahwa halte ini didesain tembus sehingga pejalan kaki bisa lewat, dengan menaiki halte yang tinggi kisaran 1 meter tersebut.
“Kami sangat menyayangkan hal tersebut. Pemerintah seharusnya bisa menjadi contoh yang baik kepada rakyat. Tapi ini justru sebaliknya. Kebijakan Pemkab Sidoarjo, malah menjadi contoh, yang tidak patut di Contoh.” Tegas Safri.
Ia juga menambahkan, 30 unit bus trans Sidoarjo tersebut, berasal dari bantuan Kemenhub, yang dibeli tahun 2014. Bus tersebut waktu pembelian dibeli untuk diberikan kepada Pemkot Surabaya. Namun bantuan tersebut ditolak oleh wali kota Surabaya.
Penolakan bantuan dari Pomkot Surabaya. Ini mempertegas bahwa perencanaan pengadaan 30 bus rapit transit (BRT) oleh Kemenhub, dilakukan asal-asalan. Seharusnya proyek tersebut, harus melalui pengkajian terlebih dahulu, dan berdasarkan usulan dari Pemkot Surabaya. Karena daerah lebih mengetahui kondisi penumpang, jalan, dan kebutuhan daerahnya. Tapi ini terbalik Kemenhub, yang ngotot membeli 30 BRT untuk Pemkot Surabaya.
“Kami curiga ada praktek korupsi di Kemenhub. Ada permainan antara Kemenhub dengan rekanan.” Kata Safri.
“Pembelian 30 BRT tersebut, dibeli oleh satuan Kerja (Satker) Bina sistem transportasi perkotaan (BSTP), Direktorat Jenderal Perhubungan Darat (Dirjen PHD) menghabiskan APBN 2014 sekitar Rp 37,5 milyar. Pelelangan proyek tersebut dilakukan melalui e-pelelangan umum, namun dilakukan secara abal-abal. Lelang sudah diangap selesai, tapi pemenang lelang tidak diumumkan melalui LPSE Kemenhub. Yang menjabat sebagai Direktur BSTP (2012 -2014) adalah DR. Ir, Djoko sasono, MSc. Tahun 2014 – tanggal 26 Desember 2015, Djoko sasono menjabat Dirjen PHD. Kemudian Djoko sasono. Jadi mulai dari perencanaan hingga pengadaan 30 BRT tersebut, Ir, Djoko sasono, yang harus bertanggung jawab. Aparat penegak hukum layak untuk memeriksa, Djoko sasono.” Tegas Safri.
Dari pantauan Lsm Arak, setelah 30 bus ditolak Pemkot Surabaya. Lalu 30 bus diberikan Pemkot Sidoarjo, sekitar Februari 2015 lalu. Tanggal 29 Mei 2015 izin trayek bus baru dikeluarkan Kepala dinas perhubungan dan LLAJ Jatim, izin trayek melayani jurusan Terminal Purbaya – T Porong. Izin trayek berlaku dari tanggal 29 Mei 2015 – 28 Mei 2020. Bus ini diluncurkan sejak 21 September 2015. Tapi yang beroperasi hanya kisaran 10 unit. Yang 20 unit mangkrak.
Masih menurut Safri, untuk menutupi kebusukan proyek 30 BRT ini, pada pembahasan revisi DIPA Kemenhub, tahun anggaran 2016, di lingkungan Dirjen PHD. Kemehub RI mengalokasikan anggaran untuk pengoperasian 30 BRT (Trans Sidoarjo) yang mangkrak tersebut, sebesar Rp 1.165.953.688. Yang menarik adalah, anggaran subsidi 30 BRT tersebut diangarkan pada akhir tahun 2016. Tapi kenyataan dilapangan BRT yang beroperasi setiap hari hanya sekitar 10 unit bus Trans Sidoarjo. Itupun terseok-seok. Akibat menangung dosa-dosa proyek Kemenhub, yang salah kaprah.” Tegas Safri.
Sepengetahuan saya selama ini Kemenhub, tidak pernah menganggarkan untuk bantuan pengoperasian BRT. Baru akhir tahun 2016 ada anggaran untuk itu.
Setelah menjabat Dirjen PHD. Djoko sasono, naik pangkat kini ia menduduki jabatan Staf ahli Bidang logistic, multimoda dan keselamatan perhubungan, Kemenhub. Seharusnya pejabat seperti Djoko sasono, sudah dibuang dari Kemenhub. “Buat apa Menhub, mempertahankan pejabat yang tidak bisa bekerja. Kami akan segera berkirim surat, kepada presiden RI. Agar memerintahkan Menhub, mengambil sikap tegas terhadap Djoko sasono, dan begundal-begundalnya, atau pejabat yang terlibat. Kejadian seperti ini berulang-ulang terjadi di Kemenhub, misalnya proyek pembelian 3000 unit BRT besar tipe R 260, untuk periode 2015 – 2019. Kasusnya malah lebih parah lagi.” Kata Safri.
Menurut Erwin, warga Porong, Sidoarjo, ia mengatakan, dengan adanya bangunan halte yang berada diatas Trotoar, telah mengganggu pejalan kaki. “Ukuran tinggi halte mencapai kisaran 1 meter. Dan menutupi trotoar, jadi keberadaan halte jelas mengganggu pejalan kaki.” Kata Erwin.
Keberadan halte tersebut, disamping merampas hak pejalan kaki, juga menimbulkan gangguan lalu lintas, karena saat Bus berhenti di halte, tepat pada ruas jalan (berhenti di badan jalan). “Kondisi jalan yang dilewati Bus trans Sidoarjo, jalannya kecil. Saat Bus, berhenti di halte tepat berada di ruas jalan. ini pasti mengganggu lalu lintas. Tambah Erwin. (rin/rsk)