INDONESIA Corruption Watch (ICW) merilis sedikitnya ada 154 (110) kasus penyelewengan dana desa sepanjang 2016 hingga Agustus 2017 lalu, dengan kerugian negara yang mencapai kisaran Rp30 miliar.
Dari 139 pelaku penyelewengan dana desa, 107 orang merupakan otak pelaku utama, yakni kepala desa. 30 orang lainnya perangkat desa, serta 2 orang di antaranya istri kepala desa.
Angkanya meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2015 ada 15 orang kepala desa terseret kasus penyelewengan dana desa, tahun 2016 menjadi 32 orang. Kemudian, hingga Agustus 2017, kepala desa yang jadi aktor utama penyelewengan dana desa sebanyak 112 orang.
Tahun 2015 ada 17 kasus, tahun 2016 meningkat menjadi 41 kasus. Kemudian tahun 2017 ada 96 kasus. Total sepanjang tiga tahun ada 154 kasus, dengan anggaran desa yang dikorupsi mencapai 85 persen.
Modusnya berbagai macam, ada penggelapan, penyalahgunaan anggaran, penyalahgunaan wewenang dan jabatan, pungutan liar, mark up anggaran, laporan fiktif, pemotongan anggaran, dan suap proyek.
Seperti yang dilakukan Kepala Desa Glagaharum, Kusmiyanto Lailatul (52), dia diperiksa penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Sidoarjo lantaran dugaan korupsi Anggaran Dana Desa (ADD) dari APBD Sidoarjo, lelaki itu kemudian ditahan, Senin (28/8/2017) lalu.
Modus penyelewengannya melakukan pembangunan menggunakan dana desa yang menyalahi ketentuan. Selain itu, ditemukan juga sejumlah pekerjaan proyek yang ternyata fiktif. Akibatnya, dana desa yang diterima mencapai Rp 1 miliar, ada sejumlah dana yang diselewengkan hingga terdapat kerugian negara mencapai Rp 225 juta. Tersangka dijerat melanggar Pasal 2 ayat 2 Jo Pasal 18 UU Korupsi dengan ancaman di atas 5 tahun penjara.
“Itu berbagai bentuk korupsi yang dilakukan oleh pemerintahan desa,” kata Divisi Riset ICW, Egi Primayogha dalam Diskusi Media Outlook Dana Desa 2018 di Kantor ICW Senin, (5/2/2018).
Setidaknya ada 5 titik rawan dalam pengelolaan dana desa, mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban, pengawasan dan evaluasi, juga pengadaan barang dan jasa, serta penyaluran dan pengelolaan dana desa.
Penyimpangan dilakukan dengan membuat rancangan anggaran biaya di atas harga pasar. Pembiayaan sejumlah bangunan fisik dari dana desa padahal proyek tersebut sebenarnya dianggarkan dari sumber lain. Cara culas berikutnya dengan meminjam sementara dana desa, dipakai untuk kepentingan pribadi dan tidak pernah dikembalikan. Pungutan atau pemotongan dana desa juga banyak dilakukan oleh oknum pejabat di kecamatan atau kabupaten.
Cara lainnya, menggelembungkan alias mark up pembayaran honor perangkat desa serta pembayaran alat-alat tulis kantor. Termasuk pungutan pajak atau retribusi desa yang tidak disetor ke kas desa. Bentuk lainnya, membeli inventaris kantor dengan dana desa namun dipakai untuk pribadi. Pemangkasan anggaran publik kemudian dialokasikan untuk kepentingan perangkat desa. Juga kongkalikong dengan sejumlah pihak untuk proyek-proyek yang didanai dana desa.
Pecat Kades Korupsi Dana Desa
Soal penyelewengan dana desa, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) berjanji menindak tegas pelaku penyelewengan dana desa, yakni dipecat. Kemendes PDTT mengakui selama tahun 2016 telah menerima aduan penyelewengan dana desa sampai 932 pengaduan.
“Perangkat desa yang terbukti terlibat penyelewengan dana desa langsung dipecat,” tegas Mendes PDTT, Eko Putro Sandjojo.
Pihaknya tidak mau main-main setelah sebelumnya selalu memberikan peringatan. Saat ini tegas, menangkap dan memecat aparat yang terbukti terlibat penyelewengan. Pihaknya juga mengajak masyarakat termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), untuk ikut mengawasi penggunaan dana desa.
Untuk diketahui, dana desa yang terkucur dari APBN, di tahun 2015 sebanyak Rp20,8 triliun, terserap 82 persen. Tahun 2016 jumlahnya bertambah menjadi Rp46,98 triliun, terserap 97 persen. Tahun 2017 sebanyak 60 triliun untuk 74.910 desa.
Tumpang Tindih, Siapa Bertanggungjawab
Sementara, guna mengurangi penyimpangan penggunaan dana desa, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mendukung langkah penguatan aparatur desa agar tidak tergelincir dan salah langkah untuk penggunaan dana desa.
Bak ‘Lempar batu sembunyi tangan’, soal tanggung jawab Tjahjo mengaku telah berbagi tugas dengan Menteri PDTT yang diharapkan fokus pada perencanaan, pembangunan, dan evaluasi pembangunan.
Jauh-jauh hari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melontarkan kritik agar ada pembenahan terkait penggunaan dana desa. KPK juga pernah merekomendasikan agar pengelolaan dana desa “ganti mesin” tujuannya agar lebih sederhana, tidak tumpang tindih.
“Salah satu rekomendasi saya, dalam reformasi birokrasi bukan hanya di reformasi, tapi juga harus ganti mesin artinya tumpang tindih dibenahi, lebih disederhanakan, sistemnya didorong supaya ada check and balances,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo.
Mari kita tengok Penjabaran UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan peraturan pelaksanaannya. Tertera, Kemendagri melakukan Pembinaan dan Pengawasan Pengelolaan Keuangan Desa. Sedangkan penyaluran dana desa oleh Kementerian Keuangan. Penggunaan dana desa oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT).
Jelas, itu tumpang tindih dan tidak efektif dalam fungsi pengawasan dan penanganan. Ada tiga lembaga yang mengurusi dana desa, itu sangat rawan untuk diselewengkan karena tidak ada pihak yang bertanggung jawab dari hulu hingga hilir.
Agus membeber banyaknya penyimpangan dana desa, salah satu bukti saat KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Bupati Pamekasan Ahmad Syafii, Kepala Kejaksaan Negeri Pamekasan Rudy Indra Prasetya, Inspektur Pemerintah Kabupaten Pamekasan Sutjipto Utomo, Kepala Desa Dassok Agus Mulyadi, serta Kepala Bagian Inspektur Kabupaten Pamekasan Noer Solehhoddin terkait suap untuk menghentikan penyelidikan penyelewengan dana desa, yang dilakukan Dassok senilai Rp100 juta, saat itu ditangani Kejari Pamekasan.
“Kewenangannya tidak jelas, program dana desa tidak ada yang bertanggung jawab. Harus segera dilakukan pembenahan mendasar, termasuk kelembagaan, tata kelola, dan sistemnya,” terang Agus.
Kritik juga terlontar, di internal inspektorat tidak jalan. Terbukti KPK tidak pernah menerima laporan dari inspektorat soal penyelewengan dana desa. Kemudian dia memberi contoh inspektorat di Amerika, yang leluasa. Yang di kabupaten tidak harus bertanggung jawab kepada bupati, dan yang di provinsi juga tidak bertanggung jawab kepada gubernur.
“Inspektorat jenderal di Amerika bertanggung jawab langsung ke Presiden,” tambahnya, sambil menyebut KPK banyak menerima pengaduan dugaan penyelewengan dana desa. Dan itu ibarat gunung es, karena banyak terjadi di berbagai daerah. Kalau sudah begini, siapa yang harus bertanggungjawab. (artikel ini sudah pernah tayang di Nusantara.Nes)