Nasional

MAKI Tuding Ada Peran ‘King Maker’ Di Kasus Pinangki Ini Alasannya

×

MAKI Tuding Ada Peran ‘King Maker’ Di Kasus Pinangki Ini Alasannya

Sebarkan artikel ini
Proyek Fatwa MA Untuk Membebaskan Djoko Tjandra

JAKARTA, NusantaraPosOnline.Com-Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menduga ada peran sosok ‘King Maker’ di balik keengganan Kejaksaan Agung (Kejagung) mengajukan kasasi atas putusan banding vonis ringan eks jaksa Pinangki Sirna Malasari.

“Saya menduga sosok ‘King Maker’ tersebut merasa ketakutan jika eks Kepala Sub-Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan dihukum penjara 10 tahun.” kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (17/7/2021).

Menurut dia, jika Kejaksaan Agung kasasi, dikhawatirkan Pinangki akan jengkel dan diduga nanti berujung buka-bukaan. “Nah saya duga sosok King Maker ini berusaha menghentikan langkah Kejaksaan hingga tidak mengajukan kasasi agar Pinangki tutup mulut atas semua rahasia yang dipegangnya selama ini,” ujar Boyamin kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (17/7/2021).

Bahkan Boyamin, blak-blakan mengatakan jika sosok King Maker tersebut berasal dari oknum penegak hukum ataupun politisi. Sejak awal saya katakan, King Maker ini orang bisa saja oknum penegak hukum, maupun oknum politisi. “Sebenarnya detailnya sosok orang ini sudah saya serahkan kepada KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), kita tunggu saja KPK yang sampai detik ini memang belum ada perkembangannya, alis jalan ditempat.” katanya.

Ia mengaku, jika kasus tersebut sudah inkrah, pihaknya akan mengajukan gugatan praperadilan untuk melawan KPK. Hal ini perlu dilakukan untuk menelusuri dan melacak keberadaan dan peran dari King Maker itu.

“Sosok King Maker ini nantinya kalau bisa dilacak KPK, kita harapkan bisa membuat terang benderang, bisa membongkar siapa yang sebenarnya sosok yang memiliki proyek fatwa maupun peninjauan kembali (PK) terkait dengan niatnya untuk membebaskan Djoko Tjandra,” kata dia.

Atas kondisi ini, dirinya pun berharap agar ada Perguruan Tinggi, yang bisa melakukan eksaminasi terhadap kasus yang menjerat mantan jaksa Pinangki. Karena, menurutnya tidak mungkin jika Kejaksaan Agung secara internal melakukan eksaminasi.

“Berkaitan dengan langkah Kejaksaan Agung yang tidak kasasi memang bisa dilakukan eksaminasi, tapi tapi faktanya memperlihatkan bahwa pimpinan Kejaksaan Agung yang memang tidak ingin kasasi, jadi ya tidak bisa dilakukan eksaminasi internal. Yang bisa melakukannya hanya eksternal. Misalnya dari kampus atau perguruan tinggi. Kita berharap perguruan tinggi segera melakukan kajian eksaminasi untuk langkah Kejaksaan Agung yang tidak kasasi terhadap putusan Pinangki,” ujar Boyamin.

Sikap pasif Jaksa Agung ST Burhanuddin terkait vonis ringan Pinangki pun telah  dilaporkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Langkah itu diambil lantaran dirinya merasa heran dengan sikap Jaksa Agung yang seolah bungkam.

“Tapi setidaknya kan saya sudah pernah melaporkan Jaksa Agung kepada presiden untuk memerintahkan kasasi dan itu dipublikasikan oleh media. Namun hal itu juga tidak digubris oleh Jaksa Agung dan hingga saat ini nyata-nyata tetap tidak kasasi,” jelasnya.

Menurutnya, boleh saja kejaksaan tak melakukan kasasi karena dirasakan putusan Pengadilan Tinggi sudah sesuai dengan tuntutan JPU. Namun disisi lain masyarakat mendorong dilakukannya kasasi agar penegakan hukum di Indonesia jelas dan berkeadilan.

“Jadi Jaksa Agung harus menjelaskan mengapa tidak dapat memenuhi desakan masyarakat untuk kasasi, bukan diam saja tanpa alasan seperti angin lalu gitu,” kata Boyamin.

Ia menyebut bahkan masyarakat menggalang petisi agar dilakukan kasasi terhadap vonis ringan eks jaksa Pinangki.  “Jadi alasannya sangat kuat, karena masyarakat mendorong serta mendesak sampai membuat petisi segala macam. Seharusnya itu harusnya didengar oleh Jaksa Agung, dengan mengajukan kasasi tapi nyatanya tidak dilakukan” ujarnya.

Pakar Hukum Universitas Trisakti, Abdul Fickar mengatakan. “Mengenai keengganan JPU mengajukan kasasi bisa jadi didasarkan pada perasaan satu korps atau karena sesama jaksa. Tetapi juga sangat mungkin karena putusan dianggap sudah sesuai dengan tuntutannya,” ujarnya.

Fickar menilai, dalam kasus Pinangki ini, menjadi bukti bahwa pengawasan melekat (waskat) dan reformasi birokrasi yang ada di Kejaksaan Agung telah gagal dan tidak berjalan sebagaimana mestinya. “Waskat itu hampir tidak pernah efektif, tidak mungkin jeruk makan jeruk,” Tegasnya.

Menurut dia, menghadapi fenomena ini, yang perlu dirangsang dan ditumbuhkan dalam kondisi kejaksaan ini adalah keberanian masyarakat untuk melaporkan jika menjadi korban atau melihat pemerasan yang dilakukan oleh oknum aparat kejaksaan.

Dirinya juga menilai saat ini Kejaksaan Agung kurang serius dalam melakukan pengawasan secara internal. Terutama pada jaksa-jaksa yang menangani perkara berpotensi terjadi transaksi. “Baik mengenai pasal pasal dakwaan / tuntutan maupun mengenai upaya paksa yang dilakukan jaksa. Seperti penahanan dan penyitaan barang  yang diduga hasil kejahatan, saat ini berpotensi transaksional,” Kata Fickar.

Fickar berharap peran kontrol masyarakat, utamanya pers menjadi sangat penting. Sehingga dibutuhkan juga keberanian media-media nasional untuk menampilkan berita penyelewengan-penyelewengan yang terjadi pada aparat penegak hukum.

Namun menurutnya, saat ini masyarakat cenderung sudah bersikap apatis dan masih sibuk dengan kebutuhannya masing-masing. “Sepanjang tidak ada kasus yang menimpanya, kejaksaan menjadi tidak relevan dalam kehidupan sehari-harinya,” Ujarnya. (Bd)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!