Menyoal Dana ‘Pokir’ DPRD Jombang Rp 15 Milyar

DEWAN Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Jombang, periode 2014 – 2019 berhasil dengan mulus mengajukan ‘jatah’ anggaran sebesar Rp 15 milyar, pada pengesahan Perubahan Anggaran pendapatan dan belanja daerah (P-APBD) tahun 2018, yang disahkan tanggal 3 Seeptember 2018. Anggaran yang kemudian mereka sebut sebagai dana Pokok-pokok pikiran (Pokir) anggota DPRD. Munculnya anggaran pokir tersebut menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan masyarakat.

Dana serap aspirasi atau dana Pokir ini sempat muncul pada tahun-tahun sebelumnya. Dan alibi yang disampaikan tetap lagu lama, mulai alasan representatif hingga memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan (dapil).

Istilah memperjuangkan program pembangunan dapil. Itu terdapat dalam ketentuan Pasal 80 huruf J, UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 yang berbunyi :

“Setiap anggota DPR berhak untuk mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan (dapil)”.

Perlu diketahui tafsir “Memperjuangkan program dapil” dalam Pasal 80 huruf (j) yang kemudian dikongkretkan oleh para politikus di Jombang, dalam bentuk dana Pokir, ini merupakan sebuah interpretasi yang keliru. Karena, memperjuangkan program Dapil, menurut UU tersebut, seharusnya dimaknai sebagai perjuangan bertingkat dalam pembahasan Musyawarah Rencana Pengembangan (Musrenbang) bertingkat hingga pembahasan anggaran bersama eksekutif. Bukan justru meminta block grant alokasi sebesar Rp 15 miliar dari P-APBD Jombang, yang tidak jelas mekanisme kontrol dan indikator prioritasnya.

Sedangkan Istilah Pokir tercantum pada Pasal 55 huruf (a) PP No : 16 Th 2010 Tentang pedoman penyusunan peraturan Dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD) tentang tata tertif DPRD. Yang berbunyi sebagai berikut :  Salah satu tugas Badan Anggaran (Banggar) DPRD yakni :

“Badan Anggaran (Banggar) mempunyai tugas : Memberikan saran dan pendapat berupa pokok-pokok pikiran DPRD kepada kepala daerah dalam mempersiapkan rancangan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) paling lambat 5 (lima) bulan sebelum ditetapkannya APBD”

Yang perlu kita ketahui bersama pada ketentuan Pasal 55 huruf (a) sudah cukup jelas, yaitu : Petama : Penyampaian Pokir DPRD adalah tugas Banggar DPRD sebagai kelengkapan DPRD, jadi hanya Banggar yang memiliki tugas ini. Kedua :  Disampaikan kepada kepala daerah. Karena tidak ada ketentuan yang berbunyi pemerintah daerah atau kepala daerah atau yang mewakilinya, maka penyampaian pokir disampaikan langsung kepada kepala daerah; Ketiga : Pokir hanya sebatas saran dan pendapat. Dalam kontek hukum, saran dan pendapat tidak bersifat mengikat, jadi tidak wajib dilaksanakan. Jadi Banggar DPRD menyampaikan saran dan pendapat kepada kepala daerah, keputusan menerima atau menolak saran dan pendapat itu ada sepenuhnya pada Bupati (kepala daerah); dan Keempat : Disampaikan paling lambat 5 (lima) bulan sebelum APBD ditetapkan.

Inilah pintu masuk yang dijadikan alasan DPRD untuk meloloskan dana Pokir melalui P-APBD. Karena itu, membaca wacana munculnya dana Pokir kali ini, tak bisa dilepaskan dengan keberadaan pasal tersebut.

Hal ini akan berujung pada kekacau-balauan program pembangunan di Kabupaten Jombang. Karena, pembangunan di Jombang ditentukan berdasarkan “selera politikus” yang berkuasa, atas anggaran yang mereka kuasai. Tidak ada lagi pembeda mana yang prioritas dan tidak. Bukan tidak mungkin yang terjadi justru, semisal masyarakat butuh jembatan, tapi yang dibangun justru taman.

Gambaran paling kongkrit tampak jelas yang bisa kita jadikan contoh di kabupaten Jombang, yaitu kasus pembangunan proyek Kolam renang Pondok pesantren Bahrul Ulum (PPBU) di Desa Tambak beras, kecamatan , Jombang (yayasan milik Keluarga Bupati Jombang Munjidah Wahab) yang dibangun dari APBN 2011 sebesar Rp 5 milyar, yang ketiban rejeki nomplok mengerjakan proyek itu adalah PT Karya Prakarsa Utama. Sejak dibangun kolam renang Rp 5 milyar tersebut tidak pernah dapat digunakan, alias mangkrak.  Kasus ini pernah ditangani Polres Jombang, tapi Polres Jombang terkesan tidak berani menyentuh kasus ini.

Misi Politik

Rasionalisasi dana Pokir DPRD Jombang, ini sesungguhnya sulit untuk bisa dijelaskan dari pendekatan yuridis. Karena, harus menggunakan tafsir sistematis dengan peraturan-peraturan lainnya. Sehingga UU MD3, dan PP No : 16 Th 2010 tidak bisa dijadikan legitimasi untuk membenarkan kemunculan dana Pokir.

Dana Pokir ini akan lebih mudah dicerna dalam pendekatan politik. Model yang hampir sama pernah muncul anggaran Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) tahun 2008  di DPRD Provinsi Jawa timur. Pada kenyataannya, dana P2SEM tersebut banyak menimbulkan skandal-skandal politik hingga korupsi.

Dan yang masih segar dalam ingatan kita kasus korupsi masal di DPRD Kota Malang, tercatat 41 dari 50 anggota DPRD jadi tersangka KPK dan mereka bergiliran digiring kedalam penjara, dalam kasus suap dengan modus dan Pokir.

Munculnya dana Pokir di P-APBD sebenarnya tidak bisa dilepaskan dengan motivasi para politikus untuk bisa terus survive di DPR. Karena dana pokir adalah agregasi dari misi politik.

Sestem Pemilihan legislatif 2019 dengan model proporsional terbuka membuat persaingan yang teramat keras. Seluruh caleg mengeluarkan sumber daya yang besar, bahkan saling tikam sesama caleg dalam satu partai terus terjadi.

Skema dana Pokir akan membuat incumbent / petahana berada di atas angin karena bisa menggunakan sumber dana P-APBD untuk bertahan. Jika setiap anggota DPRD Jombang mendapat jatah Rp 300 juta, setiap anggota DPRD bisa memutar “dana pemenangan” sebesar Rp 300 juta untuk satu periode. Dana pokir yang dilontorkan tersebut akan menjadi modal kampanye di Dapil, untuk bisa dipilih lagi oleh konstituen pada Pileg 2019.

Maka pemilu legislatif 2019 berpotensi menghadirkan persaingan tak sehat antara pemula dan petahana. Padahal pemilu idealnya dilakukan di atas lapangan yang setara di antara semua kandidat untuk mencapai hasil pemilu yang berkualitas.

Pokir Menambah Masalah Baru

Jika benar-benar direalisasikan, dana aspirasi dapat dipastikan akan melahirkan rentetan permasalahan baru. Permasalahan terbesar di depan mata justru berkaitan dengan potensi korupsi masif dari anggaran tersebut. Hampir dapat dipastikan berbagai modus korupsi, pedagang proyek, dan perdagangan pengaruh, akan terjadi dalam pengelolaan dana tersebut.

Sekalipun sejumlah anggota DPRD beralasan dana tersebut tidak mungkin akan dikorupsi dan mereka akan mengelola secara transparan, publik tentu tidak akan mudah percaya dan langsung mengamininya. Hal ini berkaca pada kasus-kasus korupsi yang ditangani penegak hukum, khususnya KPK, yang memiliki dimensi penganggaran.

Semisal kasus Kasus korupsi masal di DPRD Kota Malang, kasus Korupsi suap 3 pimpinan DPRD Kota Mojokerto, dan masih banyak yang lain-lain. Tampak jelas dalam putusan dan fakta persidangan, kekuatan politik yang bersangkutan sebagai anggota DPRD untuk menggiring anggaran yang sekalipun berada di luar komisinya.

Dapat dibayangkan, dalam mekanisme penganggaran yang “normal” saja masih memiliki titik lemah sehingga rawan dikorupsi. Apalagi dalam skema penganggaran abnormal, seperti dana Pokir. Otonomi pengelolaan dana aspirasi ke masing-masing anggota tentu sudah dapat dipastikan akan memunculkan banyak sekali potensi penyimpangan.

Pada titik ini, sesungguhnya publik akan sangsi faedah dari dana Pokir bagi pembangunan Dapil Lihat saja hasil proyek-proyek dari dana aspirasi atau sejenisnya DPRD, seperti dana P2SEM, dan lain-lain. Yang terjadi justru anggaran habis tapi tidak dapat dimanfaatkan.

Oleh karena itu, publik harus menolak upaya perburuan dana aspirasi atau dana Pokir atau yang sejenisnya, yang tengah dilakukan DPRD. Pajak yang kita bayar harusnya digunakan untuk kemakmuran rakyat, bukan justru untuk kemakmuran politikus untuk mempertahankan kursi mereka. *) Penulis : Safri Nawawi, SH, Koordinator Lsm Aliansi Rakyat anti korupsi (Lsm Arak) tulisan diambil dari berbagai sumber

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!