MK Tolak Gugatan Revisi UU KPK, Satu Hakim Menyatakan Dissenting Opinion

9 Hakim MK Sang Penentu ‘Gugatan’ Revisi UU KPK. Kiri ke kanan : Hakim Saldi Isra, Manahan MP Sitompul, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Aswanto, Anwar Usman, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, dan I Dewa Gede Palguna. (Foto: Humas MK)

JAKARATA, NusantaraPosOnline.Com-Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan uji materi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tentang Perubahan Kedua Atas UU 30 Tahun 2002 tentang KPK. Perkara tersebut tercantum dengan nomor 79/PUU/-XVII/2019.

“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” Kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta, Selasa (4/5/2021).


Dalil pemohon menyatakan UU KPK tidak melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan menduga telah terjadi penyelewengan hukum dianggap tidak beralasan. Hakim MK menilai penyusunan UU KPK telah sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku.

“RUU tersebut telah terdaftar dalam Prolegnas dan berulang kali dalam Prolegnas prioritas. Lama tidaknya pembentukan perundang-undangan berkaitan erat dengan substansi dari RUU tersebut, dalam hal ini tidak dapat disamakan tingkat kesulitan RUU,” ucap anggota majelis hakim, Arief Hidayat.

Yang menarik, tidak semua hakim MK satu suara. Terdapat dissenting opinion dari Hakim Wahiduddin Adams. Hakim MK Wahiduddin Adams justru berpendapat menyatakan gugatan formil Undang-Undang KPK seharusnya dikabulkan. Namun apalah daya, Hakim MK Wahiduddin Adams, hanya satu dari sembilan hakim MK yang mengadili gugatan dan menyatakan hal itu terhadap revisi UUKPK.

Mayoritas Hakim MK menyatakan menolak seluruh gugatan yang diajukan Tim Advokasi UU KPK yang beranggotakan Agus Rahardjo dkk. Wahid sendirian menyatakan dissenting opinion atau berbeda pendapat dengan hakim lain.

“Berdasarkan argumentasi sebagaimana diuraikan di atas saya berpendapat bahwa Mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan para pemohon,” kata dia saat membacakan pandangannya dalam sidang putusan, Selasa (4/5/2021).

Wahiduddin berpandangan beberapa perubahan dalam UU KPK secara a quo telah merombak postur, struktur, arsitektur dan fungsi KPK secara fundamental.

Selain itu, Hakim Wahiduddin juga menyoroti soal waktu penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM) yang ia nilai tidak bisa diterima secara akal sehat. Menurutnya, suatu perubahan yang begitu banyak dan bersifat fundamental terhadap lembaga sepenting KPK disiapkan dalam bentuk DIM kurang dari 24 jam.

“Perubahan ini sangat nampak sengaja dilakukan dalam jangka waktu yang relatif sangat singkat serta dilakukan pada momentum yang spesifik. Padahal jangka waktu yang dimiliki oleh presiden untuk melaksanakan itu adalah paling lama 60 hari,” Tutur Wahiduddin.

Dengan menyatakan bahwa UU KPK harusnya dibatalkan, ia berharap dapat menyiratkan pesan kepada pembentuk undang-undang dan masyarakat bahwa secara materiil terdapat gagasan yang baik dan konstitusional terhadap KPK dalam UU a quo. Ia mengatakan jika dibentuk dengan prosedur yang lebih baik, diharapkan kelembagaan KPK juga menjadi lebih bagus ketimbang periode sebelumnya.

Siapa Sosok Hakim MK Wahiduddin Adams :

Mengutip profilnya dari mkri.id, Dr. Wahiduddin Adams, SH., M.A, lahir di Desa Sakatiga, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan pada 17 Januari 1954. Dia mengenyam ilmu Peradilan Islam, di Fakultas Syariah di Institut Agama Islam Negeri Jakarta. Ia melanjutkan pendidikan untuk meraih gelar doktor dari universitas yang sama. Gelar Sarjana Hukum dia peroleh dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah pada 2005.

Pada 1981, Wahid memulai kariernya di Kementerian Hukum dan HAM yang dulu bernama Departemen Kehakiman. Dia bekerja sebagai pegawai di Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI. Selama empat tahun ia menjadi pegawai, kemudian ia naik jabatan menjadi Kepala Sub Bidang Hukum Sektoral di tempat yang sama hingga tahun 1989. Jabatannya tertingginya adalah Direktur Jenderal Perundang-undangan pada 2010 sampai 2014.

Selain berkarier sebagai birokrat, Wahid juga aktif di sejumlah organisasi. Dia pernah menjabat Ketua Dewan Perwakilan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) selama tiga tahun. Selain itu, ia sempat menjadi anggota Dewan Penasihat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Kemudian, menjadi Ketua Bidang Wakaf dan Pertanahan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Wakil Sekretaris Dewan Pengawas Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).

Wahiduddin Adams akhirnya menduduki kursi hakim konstitusi pada 2014 dengan masa jabatan hingga 2019. DPR kembali memilihnya untuk periode kedua 2019-2024 pada 9 Maret 2019. (Bd)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!