JAKARTA, NusantaraPosOnline.Com–Komisi Informasi (KI) Pusat menilai bahwa rencana pemerintah, yang akan menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 2024, tanpa secara transparan mengungkapkan pemanfaatan per pajak yang disetorkan masyarakat.
Komisioner Bidang Penelitian dan Dokumentasi KI Pusat Rospita Vici Paulyn mengatakan, tiap bulannya memang pemerintah telah mengumumkan realisasi anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), namun informasinya terlalu general dan tak spesifik mengungkapkan tiap uang pajak yang terkumpul berapa rupiah yang digunakan untuk masyarakat.
“Kurangnya transparansi yang membuat masyarakat menjadi skeptis, menjadi kurang kepercayaan terhadap pajak yang kemudian dikumpulkan oleh pemerintah,” kata Rospita dalam diskusi di Kantor Pusat KIP, Jakarta, Senin (25/11/2024).
Menurut Rospita, dalam Undang-Undang KIP sebetulnya 90% informasi yang ada di badan publik wajib dibuka oleh seluruh lembaga negara supaya masyarakat tahu apa yang dikerjakan pemerintah dan manfaatnya apa untuk masyarakat. Hanya 10% informasi yang boleh ditutupi, yakni menyangkut rahasia negara, rahasia bisnis, dan rahasia pribadi.
BACA JUGA :
- e-Katalog Konstruksi Modus Baru Korupsi Pengadaan Barang Dan Jasa
- Proyek Rehab MPP Jombang Diduga Serat Penyimpangan
“Maka semua laporan keuangan, kebijakan, pemanfaatan barang dan jasa, serta semua informasi yang dihasilkan dari anggaran negara itu sifatnya terbuka. Tinggal bagaimana masyarakat mau memanfaatkan, meminta, mengontrol,” ucapnya.
Oleh sebab itu, ia meminta pemerintah menunda kenaikan PPN menjadi 12% sebelum mampu menjelaskan detail manfaatnya untuk masyarakat, apalagi PPN di Indonesia ia katakan tertinggi di ASEAN, sedangkan negara tetangga yang ekonominya lebih maju seperti Singapura hanya 7% dan Malaysia hanya 6%.
“Saya kasih contoh negara-negara maju, misalnya di Sweden atau di Belgia dan sebagainya, pajaknya tinggi, tetapi masyarakat difreekan. Berobat ke rumah sakit gratis, pendidikan gratis, dampaknya masyarakat yang merasakan jalan di sana mulus, infrastruktur di sana terbangun dengan rapi dan baik,” tegas Rospita.
“Artinya masyarakat merasakan ketika dia membayar, pajak itu kemudian dipergunakan untuk kembali kepada masyarakatnya langsung,” ungkapnya.
Tanpa adanya informasi yang jelas terkait pemanfaatan pajak selama ini, ia memastikan masyarakat pasti akan selalu memandang negatif pemerintah terkait kenaikan pajak, karena manfaatnya pun tak pernah langsung dinikmati masyarakat.
“Kita lihat contoh dari sektor pajak, dari bagian pajak saja, contoh Gayus Tambunan yang bukan petinggi negara, yang hanya di tengah-tengah saja bisa melakukan korupsi seperti itu. Tidak mungkin dia melakukan itu sendiri, itu pasti tidak mungkin. Pasti ada kronik-kroniknya, dan itu tidak pernah diungkap secara terbuka kepada publik. Itu menjadi persoalan,” paparnya. ***
Editor : BUDI. W