Belum Bernomer UU Cipta Kerja, Sudah Dua Gugatan Masyarakat Masuk Ke MK

Aksi masa menolak UU Cipta Kerja

JAKARTA, NusantaraPosOnline.Com-Rancangan Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja (RUU Omnibus Law Cipta Kerja) resmi menjadi undang-undang setelah DPR RI mengesahkannya pada Rapat Paripurna, Senin 5 Oktober 2020 lalu. Pengesahan ini dikebut lebih cepat dari jadwal yang diagendakan pada Kamis 8 Oktober 2020.

Dan UU Omnibus Law tentang Cipta Kerja telah diserahkan oleh DPR RI ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk ditandatangani pada Rabu (14/10) kemarin, UU ini belum tercatat dalam lembaran negara sudah dimohonkan untuk diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dikutip dari laman Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Rabu (14/10/2020), Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima dua gugatan berupa permohonan judicial review (JR) UU Omnibus Law Cipta Kerja. Kedua pemohon JR UU Cipta Kerja itu yakni Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa dan perseorangan yang merupakan karyawan kontrak, Dewa Putu Reza dan Ayu Putri. Permohonan JR itu didaftarkan pada Senin (12/10/2020).

DPP Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa diwakili oleh Ketua Umum Deni Sunarya dan Sekretaris Umum Muhammad Hafidz mengajukan judicial review terkait pengujian Pasal 81 angka 15, angka 19, angka 25, angka 29 dan angka 44 UU Cipta Kerja.

Serikat pekerja asal Karawang, Jawa Barat itu mempersoalkan Pasal 81 angka 15 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 59 UU Ketenagakerjaan dan menghilangkan pengaturan jangka waktu, batas perpanjangan dan pembaruan perjanjian kerja.

Sementara itu, Pasal 81 angka 19 UU Cipta Kerja disebut pemohon menghapus Pasal 65 UU Ketenagakerjaan yang berdampak terdapat syarat batasan pekerjaan yang dapat diserahkan dari pemberi kerja kepada perusahaan penyedia jasa pekerja.

Selanjutnya, Pasal 81 angka 25 menyebabkan upah minimum dari semula berdasarkan produktivitas, inflasi dan pertumbuhan ekonomi menjadi hanya pertumbuhan ekonomi atau inflasi. Kemudian angka 29 didalilkan pengusaha tidak diancam sanksi apabila memberi upah lebih rendah dari ketentuan yang berlaku.

Sementara itu, pemohon Dewa Putu Reza dan Ayu Putri menyebut, UU Cipta Kerja tidak memberikan perlindungan dan kepastian hukum untuk para pemoho, terkait status kepegawaian karena undang-undang itu memberikan perusahaan kewenangan mengadakan perjanjian kerja waktu tertentu secara terus menerus.

Alasan mengajukan JR, pemohon memandang penghapusan batas waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) mengakibatkan hilangnya perlindungan hukum yang adil dan kepastian hukum bagi pekerja. Sebagaimana diatur dalam Pasal 59 UU Cipta Kerja.

Selain itu, terkait penghapusan ketentuan minimal dalam pemberian pesangon dan uang penghargaan. Hal ini disebut telah merampas hak para pekerja, akan pendapatan dan kehidupan yang layak. Hal ini tertuang dalam Pasal 156 ayat (1).

Terkait hal tesebut, juru bicara MK, Fajar Laksono menyampaikan, permohonan tersebut akan disidangkan paling lama setelah 14 hari diregistrasi. Para pemohon diminta untuk menunggu.”Ya, paling lama 14 hari sejak diregistrasi sudah harus sidang. Itu hukum acaranya. Tunggu saja,” kata Fajar, Kamis (15/10/2020).

Ia memastikan, MK akan independen dalam menangani perkara ini. Dia tidak mempermasalahkan jika terdapat sebagian orang yang merasa khawatir membawa UU Cipta Kerja ke MK. “Mau mengajukan atau tidak mengajukan permohonan, itu sepenuhnya hak publik. Setidaknya, kalau diajukan ke MK, selain tentu akan diproses sesuai ketentuan hukum acara, akan ada ruang terbuka bagi seluruh pihak yang berkepentingan untuk menyampaikan argumentasi konstitusional di persidangan,” Ujarnya. (bd)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!