JOMBANG, NusantaraPosOnline.Com-Praktek pungutan liar (Pungli) yang dilakukan Pemerintah Desa Sidowarek, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Jombang, pada proyek setifikat tanah Program Operasi Nasional Agraria (Prona) makin terkuak kepermukaan. Pasalnya semua warga pemohon sertifikat Prona, yang berhasil ditemuai oleh Lsm Aliansi rakyat anti korupsi (Lsm Arak) semua mengaku telah dipungut biaya Pungli.
Besarnya pungutan liar tersebut bervariasi, mulai dari kisaran Rp 500 ribu hingga Rp 2,5 juta rupiah. Adapun modus Pungli tersebut, olen Pemerintah desa Sidowarek, pemohon sertifikat Prona dipungut biaya sebagai berikut : (1) Untuk biaya pembelian patok tanah, materai, foto copy, dan biaya transport Rp 150 ribu, (2). Untuk biaya pengurusan surat-surat tanah didesa (besarnya biaya pengurusan surat tanah bervariasi). Dengan mudos tersebut, Pemdes Sidowarek, berhasil menipu dan memalak rakyatnya.
Menurut Rudiyanto, Koordinator Kader pemberdayaan masyarakat (KPM) desa Sidowarek, yang sekaligus anggota BPD desa setempat, ia mengaku bahwa ia adalah termasuk pengawas Prona di desa Sidowarek, memang ada pungutan yang bervariasi terhadap pemohon. Termasuk saya sendiri dipungut biaya Rp 750 ribu. Dan pembayaranya diserahkan kepada kepala dusun, Kepuh pandak, Djuwari.
Rudiyanto, merincikan uang Rp 750 ribu tersebut, pihak desa berdalih Rp 150 ribu, untuk biaya materai, patok tanah, foto copy, dan untuk transpot panitia didesa. Sedangkan yang Rp 600 untuk biaya pengurusan surat-surat tanah didesa. Katanya.
“Pungutan Prona setiap dusun besarnya bervariasi. Misalnya di Dusun Kepuh pandak, pertama Kepala dusun memungut biaya mulai dari Rp 750 ribu hingga Rp 1,5 juta, bahkan lebih disesuaikan dengan luas tanah, untuk tanah sawah dipungut lebih mahal. Kemudian pungutan tersebut diprotes oleh masyarakat, karena terlalu mahal. Saya sendiri dipungut Rp 750 ribu.” Kata Rudiyanto, kepada NusantaraPosOnline.Com, Kamis (15/2/2018).
Kepala Desa juga mengetahui pungutan tersebut, setelah dipoters warga, selanjutnya pungutan diturunkan, dan disamakan menjadi Rp 650 ribu. Dengan perincian, Rp 150 untuk biaya materai, patok, foto copy, dan biaya transpot. Dan yang Rp 500 untuk biaya pengurusan surat-tanah didesa.
“Tapi saya tidak tahu surat yang dibandrol Rp 500 ribu tersebut oleh desa. Dan pembayarnya lewat Kepala dusun Kepuh pandak. Saya dimintai Rp 750, mereka berdlih sekalian untuk biaya surat-surat tanah didesa.” Terang Rudiyanto.
Rudiyanto, juga mengaku, ikut membantu pelaksanaan Prona didusun Kepuh Pandak, namun tidak mendapat bayaran apa-apa.
“Didusun Kepuh pandak, ada dua orang KPM, yaitu saya (Rudiyanto) dan Eni. Namun namanya Eni tidak dilibatkan apa-apa. Tapi saya ikut dilibatkan membantu pelaksanaan Prona didusun Kepuh pandak, saya ikut mengukur tanah. Tapi saya tidak dapat bayaran.” Ungkap Rudiyanto.
Untuk pemohon didusun Kepuh pandak, ada sekitar 300 pemohon sertifikat Prona. Terang Rudiyanto.
Hal senada diungkapkan warga desa Sidowarek berinisial TO (60), ia mengatakan, saya mengajukan tiga sertifikat, saya dipungut Rp 3 juta rupiah, setiap 1 sertifikat saya dipungut Rp 1juta.
“Saya heran waktu di kantor balai desa (sosialisasi) Sidowarek, yang dihadiri perwakilan Pengadilan, Kejaksaan, Polres Jombang, Polsek, juga Camat. Katanya biaya sertifikat pemutihan (Prona) biayanya Rp 150 ribu. Tapi kenyataannya saya dipungut Rp 3 juta. Pungutanya macam-macam (Bervariasi), ada yang Rp 1 juta, ada yang Rp 1,5 juta, ada yang Rp 2,5 juta. Bahkan ada yang Rp 3 juta. Itu namanya nipu masyarakat, kalau saya masih muda saya bacok itu Kasunnya.” Ujar TO (75), yang mengaku kesal atas pungutan tersebut.
Sementara itu, menurut koordinator Lsm Arak, Safri nawawi, ia mengatakan, surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri yaitu Menteri Agraria dan tata ruang, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Desa, pembangunan daerah tertinggal, dan Transmigrasi. Nomor : 25/SKB/V/2017, Nomor : 590-31674 tahun 2017, dan Nomor : 34 Tahun 2017, Tertanggal 22 Mei 2017. Tentang pembiayaan persiapan tanah sistematis. Pemerintah desa dipulau jawa dan Bali, hanya boleh menarik biaya Rp 150 ribu. Tidak boleh melebihi ketentuan tersebut.
“Biaya Rp 150 ribu, untuk biaya materai, patok tanah, foto copy, dan biaya transpot panitia didesa. Jadi pemerintah desa Sidowarek tidak boleh memungut biaya lebih dari Rp 150 ribu. Lebih dari itu termasuk Pungli. Apalagi Pungutan Prona sampai pemohon ada yang dipungut tembus Rp 3 juta. Aparat penegak hukum harus tegas, segera menangkap Kepala desa dan Kepala dusun yang terlibat, dalam praktek pungli tersebut.” Tegas Safri.
Masih menurut Safri, dalam SKB tiga menteri tersebut, juga ditegaskan bahwa pemohon sertifikat Prona dibebaskan dari biaya pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Jadi tidak ada dasar hukum apa-apa pemerintah desa Sidowarek, berani memalak pemohon sertifikat Prona dengan dalih biaya surat-surat di desa.
“Jadi jelas-jelas tidak ada dasar hukumnya, pemerintah Desa Sidowarek, menarik biaya surat-tanah warga dari warga. Dan pemerintah desa Sidowarek juga tidak punya hak menarik pajak BPHTB dari masyarakat, karena pembayaran pajak BPHTB dibayar melalui bank-bank yang ditunjuk pemerintah, atau melalui Kantor Dinas pendapatan daerah. Jadi kami minta aparat penegak hukum menangkap Kepala desa Sidowarek, dan kepala dusun yang terlibat praktek Pungli tersebut.” Tegas Safri.
Prantek Pungli proyek Prona desa Sidowarek, bisa dikatakan praktek korupsi, karena sudah memenuhi unsur-unsur korupsi.
Unsur korupsi ada 4 yakni unsur penyalahgunaan jabatan, unsur perbuatan melawan hukum, unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain, dan unsur kerugian.
Safri menjelaskan, Pungli Prona didesa Sidowarek, memenuhi 4 unsur tersebut, yakni : Pungutan Prona yang mencapai antara Rp 500 ribu, hingga Rp 2,5 juta, bahkan ada yang sampai Rp 3 juta, pungutan itu tidak ada dasar hukumnya; Pungutan Prona didesa Sidowarek, sudah melebihi ketentuan SKB tiga menteri; Dari praktek pungutan Prona yang melebihi ketentuan SKB tiga menteri tersebut, ada pihak-pihak yang diuntungkan (oknum pemerintah desa), dan dari praktek pungutan tersebut telah merugikan perekonomian masyarakat.
“Pejabat korupsi, tidak harus mengorupsi uang Negara, sehingga merugikan keuangan Negara. Pungli yang dilakukan pejabat itu bisa dikatakan korupsi, jika merugikan perekonomian masyarakat. Kalau penegak hukum di Jombang, tutup mata dengan kasus Pungli Prona di Sidowarek, kami pastkan kami akan mendemo kantor kejaksan negeri Jombang, dan Polres Jombang’.” Tegas Safri.
Dari pantauan dilapangan di desa Sidowarek, terdapat 1.500 pemohon sertifikat Prona 2017. Pungutan yang ditarik Pemerintah desa Sidowarek bervariasi mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 2,5 juta, per sertifikat. Jika dihitung dari nilai pungli paling kecil Rp 500 ribu x 1.500 = Maka uang haram yang terkumpul mencapai Rp 750 juta, bahkan lebih. Artinya jika dikalikan rata-rata pungli Rp 750 ribu / sertifikat x 1.500 = hasil pungli bisa mencapai Rp 1.120.000.000. lalu dimana peran aparat penegak hukum di Kabupaten Jombang.
Usai proyek Prona 2017 saat ini Kepala dusun desa Sidowarek, sedang sibuk membangun rumah masing-masing. (rin/yan)
Desa Sidowarek terdapat 7 Dusun, untuk pelaksanaan Prona Kepala desa Menunjuk Kepala Dusun masing-masing sebagai pelaksana ditiap dusun, yakni :
- Dusun Kepuh pandak (Kepala Dusun : Djuwari)
- Dusun Wonorejo atau Cangaan (Kepala Dusun : Rudi Sugiharto)
- Dusun Bendo (Kepala dusun Wasito)
- Dusun Genjong lor (Kepala dusun Acmad Zamroni)
- Dusun Genjong Kidul (Kepala dusun Muhammad Zaini)
- Dusun Maron, dan (Kepala dusun Dariyono)
- Dusun Kweden (Kepala dusun Puji Rianto)