JAKARTA, NUSANTARAPOSONLINE.com – Untuk mengatasi masalah kemacetan lalu lintas di kota-kota besar di Indonesia Kementrian Perhubungan (Kemenhub) melakukan terobosan untuk mendukung pertumbuhan penggunaan angkutan umum, dan untuk mengurangi kemacetan kota-kota besar di Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui, tahun 2015 lalu, Kemenhub, Direktur Bina Sarana Transportasi Perkotaan (BSTP), Dirjen perhubungan darat (Dirjen PHD), meluncurkan program pengadaan sebanyak 3.000 unit Bus Rapid Transit (BRT) untuk periode 2015-2019.

Menurut rencana pengadaan tahap awal dilakukan tahun 2015 sebanyak 1000 unit, pengadaan sudah selesai, tahap kedua sebanyak 500 unit tahun 2016. Sedangkan sisanya sebanyak 1.500 unit BRT akan mulai di lelang lagi pada tahun 2017-2019.
Proyek tersebut dibiayai dari APBN, yang bersumber dari alokasi anggaran hasil penghematan subsidi BBM. Tahap awal tahun 2015 pengadaan 1.020 unit BRT sudah ditender sejak awal 2015 lalu, melalui proses e-catalog, dimenangkan tujuh perusahaan karoseri, sebagai berikut : (1) Karoseri laksana 350 unit BRT, (2). Rahayu Santosa 200 unit, (3). Tenterem 150 unit BRT, (4) Nes Armada 100 unit BRT, (5). Tri Sakti 100 unit BRT, (6). Restu Ibu Pusaka 50 unit BRT, dan (7). Piala Mas 50 unit BRT.
Sebayak 1050 unit BRT, tersebut sudah dibagi-bagikan oleh Kemenhub, ke PT Damri sebanyak 825 unit BRT, yang kini mangkrak dimana-mana. Sedangkan yang 200 unit BRT, diberikan ke 8 daerah, yaitu Aceh, Lampung, Kota Pekan Baru, Kota Batam, Kota Palembang, Kota Semarang, dan Kota Sorong.
Namun baru tahap awal pengadaan, sudah muncul banyak masalah, mulai dari adanya penolakan bantuan BRT, ada juga daerah yang menerima bantuan BRT karena terpaksa lantaran sudah terlanjur diberi bantuan sampai sekarang BRT mangkrak. Ada juga Daerah penerima bantuan yang memaksakan mengoperasikan BRT tanpa didukung dengan kondisi jalan, dan fasilitas kelengkapan halte yang memadai.
Ironisnya meski 1020 BRT tahun 2015, masih mangkrak dimana-mana, tahun anggaran 2016 Kemenhub kembali, membeli 500 unit BRT. Diperkirakan 500 unit BRT, ini bakal menambah daftar panjang BRT yang mangkrak. Untuk pembagian BRT yang dibeli tahun 2016 Pihak Kemenhub, sangat tertutup dari akses pablik. Berbeda saat pembelian tahap awal tahun 2015 lalu, Menhub dan Direktur BSTP, pidato dimana-mana tentang pembagian proyek 3000 BRT.
Rencananya awal pembelian 3.000 BRT nantinya akan dibagikan kepada 34 Provinsi, di Indonesia. Mengingat pendanaan pengadaan bus ini menggunakan APBN yang bersumber dari penghematan subsidi BBM yang telah dibayarkan oleh masyarakat umum. Jadi sebagai masyarakat wajib ikut serta memberikan masukan untuk perbaikan program ini supaya tidak merugikan masyarakat itu sendiri dan hanya menguntungkan oknum-oknum pejabat Kemenhub, dan rekanan-rekanannya saja.
Harga per unit BRT kisaran Rp.1,4 Milyar (tidak termasuk ongkos kirim), jadi diperkirakan anggaran untuk pengadaan BRT ini diperkirakan mencapai Rp.4,2 trilun atau lebih. Anggaran sebesar Rp 1,4 triliun yang dikuras, Kemenhub untuk mendukung mass transport, dan untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di kota-kota besar di Indonesia, sudah cukup besar.
Namun permasalahnya adalah pengelolaan APBN sebesar Rp 4,2 trilun, tidak dikelola secara profesional oleh Ditjen PHD. Dana tersebut dikelola hanya menguntungkan segelintir oknum-oknum pejabat dilingkungan Kemenhub, dan rekanan-rekananya. Ada beberapa kritikan atas pelaksanaan proyek tersebut yaitu :
- Proyek pengadaan 3000 BRT dipaksakan terpusat di Kemenhub, menimbulkan kesan bahwa proyek tersebut adalah hasil kong-kalikong, pejabat Kemenhub. Sehingga Pejabat Kemenhub, akan merasa dirugikan jika pembelian BRT ditangan oknum-oknum Pejabat Kemenhub RI.
- Perencanaan proyek 3000 unit BRT, tidak memperhitungkan kebutuhan, kondisi Daerah yang akan menerima bantuan. Bus dibeli terlebih dahulu, kemudian barulah Kemenhub memikirkan BRT akan diserahkan kedaerah mana.
- Pejabat Kemenhub, berkoar-koar bahwa BRT tersebut, akan dibagikan kedaerah-daerah (propinsi di Indonesia). Namun kenyataanya pembelian tahap awal tahun 2015 sebanyak 1025 BRT. Karena bermasalah, 1025 unit BRT tersebut diberikan Ke PT Damri sebanyak 825 unit BRT, yang kini mangkrak dimana-mana, dan sebanyak 200 unit BRT, diberikan ke 8 daerah/propinsi.
- Pejabat pejabat Kemenhub, berkoar-koar, melalui media, baik media cetak maupun elektronik, bahwa BRT ukuran besar tersebut, akan dibagikan kedaerah-daerah (propinsi di Indonesia). Tapi setelah pembelian tahap awal tahun 2015 lalu bermasalah. Kemudian pembelian tahap kedua dan ke tiga tahun 2016 dan 2017, Kemenhub, sudah sangat tertutup dari akses, masyarakat, wartawan dan Lsm. Ini mencerminkan bahwa proyek 3000 BRT ukuran besar Kemenhub, benar-benar proyek yang amburadul.
- Proyek tersebut dipaksakan terpusat di Kemenhub, telah menyebabkan biaya transportasi pengiriman BRT kedaerah penerima bantuan masih menjadi beban tambahan APBN, hal ini jelas-jelas pemborosan anggaran.
- Kurangnya pemberdayaan yang dilakukan Kemenhub, terhadap Dinas Perhubungan tingkat daerah. Seharusnya Kemenhub, harus belajar dari tahun-tahun sebelumnya dengan program yang ada, bahwa kurangnya pemberdayaan Dinas Perhubungan di daerah, dan tidak berkesinambungan menyebabkan kebijakan dipusat tidak singkron dengan kebijakan didaerah, sehingga proyek 3000 unit BRT relative mubazir/mangkrak atau tidak dipergunakan secara semestinya.
- Pemerintah Daerah penerima bantuan BRT mengalami kesulitan dalam penyediaan anggaran untuk meng Operasikan dan maintenance (O&M), pembangunan halte, yang mengikuti design Bus. Bukan hanya itu pemerintah Daerah, juga mengalami kesulitan dalam pemilihan rute jalan untuk mengoperasikan BRT yang berukuran besar.
- Perencanaan proyek 3000 BRT tidak melalui pengkajian yang matang, tidak mempertimbangkan kebutuhan Daerah, dan kondisi jalan yang ada di Daerah penerima bantuan. Sehinga mengakibatkan beberapa daerah ada yang batal/menolak menerima bantuan BRT tersebut. Ini adalah cerminan bobroknya perencanan oleh Kemenhub.
- Perencanaan proyek 3000 BRT, kurang mempertimbangkan sistem management dan kelembagaan atas BRT dan belum mempertimbangkan ketersediaan SDM yang akan mengoperasikan dan maintenance (O&M) BRT. Kemenhub hanya memperhitungkan PT Damri sebagai operator utama BRT. Padahal PT Damri yang ada saat ini juga pada level manajemen terpusat yang akan sulit memenuhi standard kebutuhan angkutan umum di daerah. Karena kendala dari hasil pengadaan bus terpusat yang telah berjalan, O&M kurang optimal serta kelangsungan pembiayaan tidak terjadi, sistem subsidi juga kurang jelas. Sampai saat ini belum ada BRT di Indonesia yang berkembang dan memberikan pelayanan memuaskan pada masyarakat.
Ada beberapa solusi untuk pengunaan anggaran peningkatan pelayanan trasportasi perkotaan dengan bus sistem di kota-kota besar Indonesia, diantarnya adah :
- Perencanaan Pembelian 3000 unit BRT, tanpa memperhitungkan kebutuhan, kondisi Daerah yang akan menerima bantuan, dan tanpa ada koordinasi dengan daerah. Bus dibeli terlebih dahulu, kemudian barulah Kemenhub memikirkan BRT akan diserahkan kedaerah mana.
- Pengadaan bus tersebut dipaksakan terpusat di Kemenhub, telah menyebabkan biaya transportasi pengiriman BRT kedaerah penerima bantuan masih menjadi beban tambahan APBN, hal ini jelas-jelas pemborosan anggaran.
- Kurangnya pembedayaan yang dilakukan Kemenhub, terhadap Dinas Perhubungan tingkat Provinsi, kebupaten / Kota, belajar dari tahun-tahun sebelumnya dengan program yang ada bahwa kurangnya pemberdayaannya Dinas Perhubungan di daerah, dan tidak berkesinambungan menyebabkan kebijakan dipusat tidak singkron dengan kebijakan didaerah, sehingga proyek 3000 unit BRT relative mubazir/mangkrak atau tidak dipergunakan secara semestinya.
- Pemerintah Daerah penerima bantuan Bus mengalami kesulitan dalam penyediaan anggaran untuk meng Operasikan dan maintenance (O&M), pembangunan halte, yang mengikuti design Bus. Bukan hanya itu pemerintah Daerah, juga mengalami kesulitan dalam pemilihan rute jalan untuk mengoperasikan Bus hibah yang panjangnya kisaran 12.000 mm, dan lebar 2500 mm.
- Perencanaan pengadaan 3000 BRT tidak melalui pengkajian yang matang, tidak mempertimbangkan kebutuhan Daerah, dan kondisi jalan yang ada di Daerah penerima bantuan. Sehinga mengakibatkan beberapa daerah ada yang batal/menolak menerima bantuan BRT tersebut. Ini adalah cerminan bobroknya perencanan oleh Kemenhub.
- Perencanaan pengadaan BRT tersebut kurang mempertimbangkan sistem management dan kelembagaan atas BRT dan belum mempertimbangkan ketersediaan SDM yang akan mengoperasikan dan maintenance (O&M) BRT. Kemenhub hanya memperhitungkan PT Damri sebagai operator utama BRT. PT Damri yang ada saat ini juga pada level manajemen terpusat yang akan sulit memenuhi standard kebutuhan angkutan umum di daerah. Karena kendala dari hasil pengadaan bus terpusat yang telah berjalan, O&M kurang optimal serta kelangsungan pembiayaan tidak terjadi, sistem subsidi juga kurang jelas. Sampai saat ini belum ada BRT di Indonesia yang berkembang dan memberikan pelayanan memuaskan pada masyarakat. (Safri Nawawi Koordinator Lsm Aliansi rakyat anto korupsi /Lsm Arak)