PT Lapindo Mau Ngebor Jombang, Pemilik Lahan Dan Masyarakat Merasa Dikibuli Kasun

Spanduk, bertuliskan nada penolakan terhadap rencana pengeboran minyak oleh PT Lapindo

JOMBANG, NusantaraPosOnline.Com-Sejumlah pemilik tanah, didesa Blimbing, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang, Jawa timur. Yang terdampak rencana pengeboran minyak dan gas (Migas) oleh PT Lapindo Brantas, mengaku kecewa karena merasa dikibuli oleh Kepala dusun Kedondong.

Kekecewaan tersebut bermula, akan ada eksporasi lapangan gas di Metro Jombang, Jawa Timur pada 2018, oleh PT Lapindo Brantas. Untuk kegiatan tersebut perusahaan milik Bakri secara sembunyi-sembunyi telah membeli tanah seluas 2 hektar (20.000 M2) berlokasi di dusun Kedondong.

Tanah warga yang akan dijadikan lahan pengeboran PT Lapindo.

Dalam tawar-menawar harga, pemilik tanah tidak langsung kepada PT Lapindo, tapi melalui Jalil (Kepala dusun Kedondong). Yang lebih parah lagi Jalil sang Kepala dusun, tidak menjelaskan secara terus terang kepada pemilik tanah bahwa tanah yang akan dibeli tersebut untuk kegiatan pengeboran PT Lapindo. Pemilik tanah mengaku bahwa Jalil malah beralasan pembelian tanah untuk pembangunan Pabrik, dan lapangan parkir. Akhir-akhir ini pemilik tanah baru mengetahui bahwa tanah tersebut ternyata untuk lahan pengeboran Minyak dan Gas (Migas) oleh PT Lapindo, hal ini membuat pemilik tanah dan warga kecewa dan merasa dikibuli oleh Jalil, dan Soleh (Warga setempat).

Menurut  Hj Sulaemah, warga desa Blimbing, ia mengatakan pada awal 2018 lalu, ada 7 orang warga pemilik tanah yang didatangi kerumahnya oleh Jalil (Kepala Dusun Kedondong), dan Soleh.  Selanjutnya 7 orang ini, termasuk saya, diundang untuk datang kerumah  Naam. Terjadilah pertemuan 7 orang pemilik tanah dengan Jalil dan Soleh.

Jalil, Kepala Dusun Kedondong. yang berhasil menipu pemilik tanah, dengan dalih untuk pembangunan pabrik, dan lahan parkir.

“Dalam pertemuan itu, Jalil, dan Soleh, menyampaikan kepada 7 orang pemilik tanah. Bahwa ada perusahaan yang ingin membeli tanah kami (7 orang), dengan harga Rp 236 ribu/permeter. Tapi pemilik tanah hanya menerima harga bersih Rp 210.000/meter. Sedangkan yang Rp 26.000 ribu/meter, untuk biaya pajak dan surat-surat didesa.” Terang Sulaemah. Selasa (24/4).

Lalu ada pertemuan kedua, 7 orang pemilik tanah diundang kerumah Jalil, dalam pertemuan kedua Jalil, menanyakan kejelasan apakah 7 orang ini jadi menjual tanah dengan harga Rp 236.000/meter.  Masih sempat terjadi tawar menawar antara 7 orang pemilik tanah dengan Jalil. Pemilik tanah sempat minta dinaikkan harga dari Rp 236.000/meter, dinaikan menjadi Rp 250.000/meter.  Namun Jalil menolak untuk menaikan harga.  Setelah tawar menawar antara pemilik tanah dengan Jalil, akhirnya mencapai kesepakatan antara pemilik tanah dengan Jalil, yakni disepakati dengan harga Rp 236.000/meter. Tapi yang akan kami terima (Pemilik tanah) Rp 210/meter. Selanjutnya adalagi pertemuan ketiga dirumah Jalil. Oleh Jalil kami diminta menyiapkan nomer rekening BNI  karena uang akan ditranfer kerekening masing-masing pemilik tanah.

Hj Sulaemah, salah seorang pemilik tanah, yang terdampak pengeboran PT Lapindo, yang tanahnya dibeli dengan alasan untuk pembangunan pabrik, dan lahan parkir.

“Tanggal 13 Maret 2018 kami (7 orang pemilik tanah) menerima pembayaran, melalui rekening masing-masing uang yang diterima Rp 210.000/meter. Yang Rp 26.000/meter, tidak masuk rekening kami. Awalnya saya senang karena tanah saya laku Rp 236.000/meter. Tapi akhir-akhir ini warga desa Blimbing, karena kedatangan PT Lapindo,  yang akan melakukan aktifitas pengeboran minyak. Dilahan yang baru dibeli. Tersebut. Saya baru tahu, ternyata tanah tersebut bukan digunakan untuk pembangunan pabrik, yang seperdi disampaikan oleh Jalil, ke kami.” Ucap Sulaemah.

Sulaemah mengaku kecewa, kami dikibuli oleh Jalil, waktu mau beli tanah, Jalil bilang untuk bangun pabrik, dan lahan parkir. Jalil berbohong, kalau saya tahu akan digunakan untuk tambang minyak, saya minta harga yang mahal. Tidak mau hanya nerima 210.000/meter.  Saya sangat kecewa.

“Waktu transaksi pengambilan uang di BNI Kecamatan Perak, kami rombongan, dan dikawal oleh Kholidi (Kepala desa Blimbing), dan Jalil (Kepala dusun). Saya benar-benar kecewa, karena Kepala Dusun, tidak terus terang. Dalam melakukan jual beli kami juga tidak pernah ketemu tawar-menawar harga dengan PT Lapindo.”  Imbuh Sulaemah.

Diungkapkan pula, oleh Ngateno, warga desa Blimbing, yang sekaligus pemilik tanah, kami 7 orang, termasuk saya diundang oleh Jalil (Kepala dusun Blimbing) dan Soleh (warga), dirumah Kepala dusun Jalil. Waktu Jalil, bilang kesaya akan didirikan Pabrik dan parkir. Ternyata Jalil Bohong.

“Kalau saya tahu untuk pengeboran minyak, saya tidak mau dibeli dengan harga Rp 236.000/meter.  Saya pasti minta harga dinaikan. Dan uang saya juga dipotong Rp 26.000/meter, oleh Jalil, dengan dalih untuk biaya tetek bengek. Dari awal saya minta harga dinaikan, tapi karena 4 orang teman (sesama pemilik tanah) sudah bersedia menjual dengan harga yang ditawarkan oleh Jalil. Akhirnya saya juga ikut setuju.” Kata Ngateno, Selasa (24/4). Dikediamanya.

H.Kasan, salah seorang pemilik tanah, yang terdampak pengeboran PT Lapindo, yang tanahnya dibeli dengan alasan untuk pembangunan pabrik, dan lahan parkir.

Tapi kalau teman-teman tahu bahwa tanah tersebut untuk pengeboran minyak, pasti 6 pemilik tanah pasti tidak mau menjual dengan harga Rp 236.000/meter. Kalau pemilik tanah yang 1 nya mungkin mau, karena Soleh yang ikut timnya Kepala dusun (Jalil), adalah anak dari salah satu pemilik tanah.

“Kami tidak pernah tawar-menawar harga dengan PT Lapindo, ya hanya melalui Jalil, dan Soleh inilah kami melakukan tawar menawar. Nah waktu pencairan uang pembayaran, melalui BNI Kecamatan Perak, kami dikawal oleh H Kholidi (Kades), dan Jalil (Kepala Dusun). Yang masuk rekening saya terhitung harga Rp 210.000/meter. Yang Rp 26.000/meter.  Saya tidak tahu mungkin masuk kerekening Jalil. Saya sangat kecewa, dan merasa dikibuli. Karena Kepala dusun, tidak bilang dari awal, yang beli tanah saya PT Lapindo.” Pungkas Ngateno, Nampak kecewa.

Rasa kekecewaan itu juga diungkapkan oleh Hj Sulaemah, warga Blimbing, juga pemilik tanah, ia mengaku merasa dibohongi, oleh Jalil. Kalau tanah saya akan digunakan untuk pengeboran minyak. Kami pasti minta harga dinaikan. Jadi Jalil ini tidak transparan.

“Tanah saya sudah dibayar lunas, melalui transfer rekening BNI. Pencairan kami sama-sama ambil di BNI Kec Perak. Pencairanya dikawal Kepala desa dan Kepala Dusun.” Kata Sulaemah. Kepada NusantaraPosOnline.Com, dikediamanya. Selasa (24/4).

Hal ini juga dibenarkan oleh H. Karnadi, warga setempat, juga pemilik tanah, ia membenarkan bahwa tanahnya dibeli dengan harga Rp 236.000/meter, dan dipotong Rp 26.000/meter, oleh Jalil (kepala dusun kedondong). Ia juga mengatakan bahwa tawar menawar tanah tersebut bukan dengan PT Lapindo. Tapi antara pemilik tanah dengan Jalil.

“Waktu tawar menawar harga, Jalil bilang, tanah tersebut untuk pembangunan pabrik.  Tanah saya sudah dibayar lunas melalui BNI Jombang. Pencairannya tanggal 13 Maret 2018 lalu.” Kata Karnadi. Selasa (24/4).

H.Karnadi, salah seorang pemilik tanah, yang terdampak pengeboran PT Lapindo, yang tanahnya dibeli dengan alasan untuk pembangunan pabrik, dan lahan parkir.

Karnadi mengaku, sebelumnya saya tidak tahu kalau tanah itu untuk pengeboran minyak PT Lapindo. Karena Kades dan Kepala Dusun, juga tidak pernah bilang kesaya.

Muncul juga pengakuan dari H.Kasan, warga setempat, juga pemilik tanah, ia mengaku memang tidak ada sosialisasi dari PT Lapindo. Kami pemilik tanah hanya diundang oleh Jalil, dan Soleh, untuk datang kerumah Jalil (Kasun) lalu kami diajak tawar menawar, antara Jalil dengan pemilik tanah.  Setelah tawar menawar ada kesepakatan harga Rp 236.000/meter. Tapi oleh Jalil, kami diminta menerima harga bersih Rp 210.000/meter. Yang Rp 26.000/permeter, katanya untuk biaya pajak dan surat-surat didesa.

“Jalil, bilang ke kami tanah tersebut untuk pabrik dan lahan parkir. Belakangan ini kami ketahui ternyata tanah itu untuk pengeboran minyak PT Lapindo. Kami merasa kecewa, karena Jalil tidak bilang apa adanya. Tapi karena sudah terlanjur, ya terpaksa harus terima.” Kata Kasan. Selasa (24/4).

Tanah seluas 2 hentar (20.000 M2) yang dibeli PT Lapindo, secara diam-diam adalah milik 7 orang warga, setempat. Jika dihitung uang yang dipotong oleh Jalil Rp 26.000/meter x 20.000 M2 (2 hentar) = Jadi uang yang terkumpul  Rp 520 juta. Pertanyaanya adalah dikemanakan oleh Jalil, uang hasil potongan tersebut ? Dan M Kholidi (Kepala desa) yang ikut mengawal pencairan uang di BNI apa juga ikut  menikmati ? hasil kerja anak buahnya. Yang sukses membohongi pemilik tanah, dengan dalih untuk “Mendirikan Pabrik dan lahan parkir.”

Spanduk, bertuliskan nada penolakan terhadap rencana pengeboran minyak oleh PT Lapindo

Terkait hal tersebut, Kepala desa Blimbing, M Kholidi, saat dikonfermasi, ia membenarkan bahwa sudah ada pembelian tanah 2 hektar untuk kegiatan pengeboran eksporasi. Dan yang beli tanah bukan PT Lapindo, tapi yang beli tanah adalah Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).

Saat disinggung, berapa harga jual tanah warga tersebut ? Kholidi mengaku tidak tahu harga tanah tersebut. Karena jual beli mereka melalui Notaris. Katanya.

Kholidi, juga membenarkan belum ada sosialisasi, dengan warga, karena tahapan-tahapan itu sudah jelas, karena memang itu belum waktunya sosialisasi, karena belum ada aktifitas pengeboran.  Terang Kholidi.

Kepala Dusun Blimbing, Jalil, sampai berita ini diturunkan masih sulit untuk dimintai konfermasi.

Menurut Iwan, seseorang yang mengaku sebagai karyawan PT Lapindo, menjabat bagian pemberitaan, saat dimintai konfermasi. Terkait pembelian tanah tersebut, ia mengaku tidak bersedia menjawab.

“Untuk masalah pembebasan tanah itu, saya tidak paham itu bukan bagian saya.” Ujar Iwan singkat, saat ditemui disebuah rumah makan dikawasan Ringin Contong, Jombang. Selasa (24/4) siang.

Dari penelusuran NusantaraPosOnline.Com,  pembelian tanah 2 hektar secara diam-diam oleh PT Lapindo, juga mendapat perlawanan dari warga. Warga mempertanyakan PT Lapindo, tanpa melakukan sosialisasi kepada masyarakat, secara diam-diam sudah membeli tanah seluas 2 hektar. Lalu dengan tiba-tiba datang ke desa Blimbing, untuk melakukan aktifitas pengeboran. Sampai berita ini diturunkan warga masih melakukan penolakan. Dan didesa Blimbing, banyak terpasang spanduk atau bener yang terpasang dipingir-pinggir jalan desa. Yang itinya bertulisan nada penolakan terhadap rencana pengeboran PT Lapindo, di Kampung mereka.

Spanduk penolakan warga terhadap pengeboran Migas, di Desa Blimbing.

Menurut Sufi’I, ketua Forum Warga Peduli Lingkungan dan Agraria (FWPLA), ia mengatakan sekitar satu bulan yang lalu, kepala Dusun Kedondong, membagi-bagikan uang kepada warga, pembagian uang tersebut melalui ketua RT masing-masing. Saya diberi bagian Rp 100 ribu. Waktu pembagian uang, ketua RT berdalih, uang syukuran dari pemilik tanah. Nah setelah saya tahu uang tersebut ada kaitanya dengan pengeboran PT Lapindo, saya kembalikan.

“Awalnya masyarakat mau menerima uang tersebut, karena waktu uang diberikan berdalih syukuran dari pemilik tanah. Nah setelah PT Lapindo, tiba-tiba datang kedesa uantuk melakukan pengeboran ditanah tersebut. Lalu saya kembalikan, warga juga banyak yang mengembalikan uang tersebut. Sekarang uang yang dikembalikan warga, terkumpul di bendahara (FWPLA) jumlanya sekitar Rp 4 juta, uang akan dikembalikan ke Kepala Dusun Kedondong. Intinya warga tetap menolak pengeboran tersebut.” Tegas Sufi’I, Selasa (24/4) malam.

Intinya penolakan warga bukan berdasarkan suka tidak suka dengan seseorang, juga bukan karena faktor uang. Tapi warga takut kedepanya desa Blimbing ini bernasib seperti Porong Sidoarjo.

“Kami berharap Pemdes Belimbing, jangan hanya memikirkan uang fie penjualan tanah, dan uang fie dari pengeboran PT Lapindo, yang perlu dipikirkan nasib anak cucu kita kedepan.”  Tambah Sufi’I.

Dari penelusuran NusantaraPosOnline.Com,  pembelian tanah 2 hektar secara diam-diam oleh PT Lapindo, juga mendapat perlawanan dari warga. Warga mempertanyakan PT Lapindo, tanpa melakukan sosialisasi kepada masyarakat, secara diam-diam sudah membeli tanah seluas 2 hektar. Lalu dengan tiba-tiba datang ke desa Blimbing, untuk melakukan aktifitas pengeboran. Sampai berita ini diturunkan warga masih melakukan penolakan. Dan didesa Blimbing, banyak terpasang spanduk atau bener yang terpasang dipingir-pinggir jalan desa. Yang intinya bertulisan nada penolakan terhadap rencana pengeboran PT Lapindo, di Kampung mereka.  

Sebagai informasi, bahwa Pemdes, tidak mepunyai kewenangan, dan tidak mempunyai dasar hukum untuk memungut pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dari pembeli, dan tidak memiliki kewenangan dan dasar hukum, untuk memungut pajak penghasilan (PPh) dari penjual. Oleh karena itu jika Pemdes Blimbing, memungut biaya jual beli atau BPHTB dan PPh, itu termasuk Pungli. (rin/yan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!