Lapas Khusus Koruptor Wajib Di Hapuskan !

Lapas Sukamiskin, Bandung, surganya para koruptor

PADA Sabtu 21 Juli 2018  Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Wahid Husen ditangkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK. Hanyalah titik puncak dari cerita panjang tentang aneka penyimpangan di lapas khusus narapidana korupsi. Sejak lama sudah menjadi rahasia umum, sebagian tahanan di Lapas bisa menikmati fasilitas mewah yang tak sepantasnya dinikmati orang-orang yang menjalani hukuman pidana.

Surga Koruptor, suasana halaman di dalam Lapas Sukamiskin, Bandung, seperti tempat rekreasi.

Ada saung-saung ‘elite’ di dalam lapas itu yang dibangun sendiri oleh para napi koruptor itu. Di kamar-kamar mereka terdapat fasilitas layaknya hotel berbintang. Belum lagi, fasilitas seperti cuti berobat atau cuti mengunjungi keluarga yang bisa diperoleh kapan saja.

Semua itu tentunya ada harga tarifnya yang mesti dibayarkan terpidana kepada penguasa lapas. Dan praktek seperti ini sudah dianggap sebagai kewajaran belaka.

Kondisi salah satu bagian dari Lapas Sukamiskin di Bandung

Saking wajarnya, Wahid Husen ketika ditangkap KPK sama sekali tidak terkejut, dan bahkan tertawa-tawa ketika diperiksa KPK.

“Makanya dia santai-santai saja ngomongnya, malah beberapa kali ditanya dia justru ketawa-ketawa,” cerita Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, tentang pemeriksaan Wahid Husen di Gedung KPK Jakarta.

Mantan bos PKS Lutfi Hasan Ishak (perut paling buncit) bersama narapidana lain sedang menikmati kolam ikan yang dibuatnya di dalam Lapas Sukamiskin

Ini memang seperti hukum pasar. Ada permintaan dan ada penawaran. Para narapidana korupsi itu yang terbiasa dengan fasilitas serba nyaman dan mewah dalam kehidupan sehari-harinya, jelas membutuhkan fasilitas yang sama ketika mereka harus menjalani hukuman di balik jeruji.

Mereka tentu tak terbiasa makan dengan menu seharga Rp14 ribu sehari, seperti yang dianggarkan dalam APBN. Mata mereka tentu tak akan bisa terpejam jika harus tidur di ranjang lapas yang usang dan berbau. Pengap udara di kamar sempit jelas membuat mereka tersiksa. Belum lagi berbagai keterbatasan pasilitas lain.

Kondisi salah satu bagian dari Lapas Sukamiskin di Bandung

Berawal dari situlah muncul permintaan. Misalnya soal kamar . Di Lapas Sukamiskin ada kamar berukuran 1,5 x 2,5 meter di lantai bawah dan ada yang lebih besar, 2,5 x 3,2 meter di lantai atas. Perbedaan ini saja sudah membuka celah “perdagangan”. Sebab, semua napi berstatus sama dan masing-masing berhak mendapatkan satu kamar. Tentu saja, semua menghendaki kamar yang besar. Belum lagi soal kondisi kamar, yang tentu tidak sama satu dengan yang lain. Di sinilah terjadi “perdagangan”.

Kondisi salah satu bagian dari Lapas Sukamiskin di Bandung

Tarip transaksinya luar biasa. Satu kamar pilihan bisa dihargai senilai sebuah rumah sederhana. Apalagi “komoditas” perdagangan di Lapas Sukamiskin sangat banyak. Semua fasilitas yang sebetulnya menjadi hak napi diperjualbelikan. Jika hak napi saja punya tarif tinggi, apalagi fasilitas yang terlarang, seperti telepon genggam, televisi, kulkas, pendingin ruangan, atau keluar lapas dengan izin berobat padahal sang napi sehat wal afiat.

Artinya, ini tergambar dengan jelas bahwa lapas khusus korupsi gagal mencapai tujuan yang sudah digariskan dalam UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam UU itu dikatakan, salah satu tujuan pemasyarakatan adalah agar terpidana menyadari kesalahannya dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat. Nyatanya, di dalam lapas pun para napi korupsi itu tetap saja melakukan tindak pidana karena ada peluang yang tercipta akibat “hukum pasar” tadi.

Kondisi salah satu bagian dari Lapas Sukamiskin di Bandung

Jadi ketika Lapas Sukamiskin ditetapkan Kementerian Hukum dan HAM sebagai tempat khusus narapidana kasus korupsi, alasannya adalah pembinaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi sangat berbeda dengan pelaku tindak pidana umum lainnya.

Wakil Menteri Hukum dan HAM (waktu itu) Denny Indrayana mengatakan, pelaku tindak pidana korupsi mempunyai pendidikan lebih tinggi dibandingkan pelaku tindak pidana umum. Karena itu, pembinaan narapidana korupsi tak bisa disatukan dengan pembinaan terhadap narapidana kejahatan umum. Konon keputusan itu telah melalui serangkaian kajian oleh Ditjen Pemasyarakatan.

Kondisi salah satu bagian dari Lapas Sukamiskin di Bandung

Memang sudah menjadi kewajiban sebuah kebijakan tentu sudah dikaji sebelumnya. Tapi, kini sudah saatnya keberadaan lapas khusus koruptor itu dikaji kembali. Tidak terlalu tinggi urgensinya jika keberadaan lapas khusus koruptor itu hanya karena perbedaan tingkat pendidikan antara napi korupsi dengan napi umum. Apalagi banyak juga napi umum yang bersekolah tinggi.

Kondisi salah satu bagian dari Lapas Sukamiskin di Bandung

Memang Lapas khusus untuk narapidana tertentu yang memiliki urgensi tinggi hanyalah untuk narapidana narkoba dan narapidana terorisme. Lapas khusus napi narkoba yang umumnya berisi para bandar dan pengedar, memang perlu kekhususan agar agar gerak-gerik penghuninya terawasi dengan ketat. Begitu pun, mereka masih mengendalikan 50 persen peredaran narkoba di Indonesia. Napi kasus terorisme jugapun perlu ditempatkan secara khusus. Sebab, jika napi-napi terorisme ini digabung dengan napi umum, dikhawatirkan mereka akan menularkan virus ideologi terorismenya.

Kondisi salah satu bagian dari Lapas Sukamiskin di Bandung

Selain dua jenis pelaku tindak pidana tersebut, sudah tidak ada alasan ada alasan untuk mengkhususkan lapas Napi korupsi. Napi korupsi seharusnya digabung dengan napi umum. Kalaupun ada napi korupsi yang harus dipisah dari napi umum, mestinya hanya terbatas pada napi yang pernah jadi penegak hukum, seperti polisi, jaksa atau hakim. Karna akan membahyakan keselamatan mereka, jika disatukan dengan orang-orang yang dulu mereka tangkap dan penjarakan.

Suasana halaman di dalam Lapas Sukamiskin, Bandung, seperti tempat rekreasi

Para Napi korupsi yang bukan penegak hukum tidak ada risiko seperti itu. Jadi, biarkan para mantan gubernur, menteri, bupati atau pejabat lain itu berjejalan satu sel dengan pembunuh, pemerkosa, atau perampok. Kalau pemasyarakatan bertujuan agar napi tidak mengulangi perbuatannya, inilah salah satu cara efektif membuat efek jera. (*)

Suasana halaman di dalam Lapas Sukamiskin, Bandung, seperti tempat rekreasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!