Marak Pungli Prona, Ini Jawaban Kepala BPN Jombang

Kepala BPN Kabupaten Jombang, Ribut Hari Cahyono (kiri)

JOMBANG, NusantaraPosOnline.Com-Pengurusan biaya pembuatan sertifikat tanah dalam program Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Jombang, tidak dipungut biaya alias gratis.

Walau demikian, masyarakat Jombang, banyak  mengatakan bahwa pembuatan sertifikat tanah Prona itu tidak gratis. Misalnya di Desa Pucangro, Kecamatan Gudo, dan desa Tinggar Kecamatan Bandarkedungmulyo,  warga didua desa tersebut, Justru warga dipungut biaya jutaan rupiah.

Hal itu dikatakan oleh PJ (40) warga Desa Pucangro, Kecamatan Gudo, ia mengatakan, waktu sosialisasi dikantor  desa Pucangro, biaya Prona 2017, ditetapkan Rp 150 ribu. Pungutan Rp 150 ribu, tersebut untuk biaya pembelian patok tanda batas tanah, biaya materai, foto copy, dan biaya operasional Pemdes Pucangro. Tapi kenyataanya dilapangan berbeda, malah saya mengajukan tanah satu bidang untuk  disetifikatkan, menjadi empat sertifikat, saya dipungut biaya Rp 2,8 juta.  Jadi satu sertifikat dipungut Rp 700 ribu. Pungutan tersebut ditarik langsung oleh Kepala dusun Berjel, desa Pucangro.

“Katanya biaya Rp 150 itu bohong. Nyatanya kami warga dipungut pungli Rp 700 ribu / sertifikat.  Satu sertifikat, saya kena palak (kena peras) Rp 700 ribu, oleh Pemdes Pucangro. Meski sudah bayar Rp 700 ribu. Saya masih disuruh membeli patok tanah, dan materai sendiri, oleh perangkat desa.” Kata PJ, kepada NusantaraPosOnline.Com, Minggu (15/4/2018).

Jadi kalau Pemdes Pucangro bilang sertifikat Prona digratiskan ke masyarakat, itu bohong. Buktinya saya dipungut biaya Rp 700 ribu, dengan alasan biaya peralihan hak, sebagai imbalan untuk pengurusan surat-surat tanah didesa.

“Memang Pemdes Pucangro, dalam memalak (memeras) warganya tidak berdalih biaya sertifikat Prona, tapi dengan alasan biaya pengurusan surat-surat didesa. Sehingga seolah-olah Prona 2017 digratis kan, warga disuruh beli patok dan materai sendiri.” Ucap, PJ.

Tapi bagi warga yang tidak mau membayar uang Pungli yang diminta Pemdes Pucangro, dengan dalih biaya surat-surat didesa, atau biaya segel peralihan hak. Tidak bisa mengajukan sertifikat Prona. Jadi ini sama saja dengan Pungli, karena telah mematok harga, dan memaksa masyarakat pemohon sertifikat Prona, untuk membayar sejumlah uang yang diminta Perangkat desa.

“Hampir semua pemohon sertifikat Prona didesa Pucangro dipungut biaya oleh Pemdes setempat, pungli tersebut bervariasi mulai dari Rp 500 ribu hingga Rp 700 ribu. Uang haram (Pungli) tersebut, dipungut oleh Kepala dusun masing-masing, tanpa dasar hukum. Hasil Pungli, digunakan untuk kepentingan pribadi perangkat desa. Tidak masuk kas desa.” Kata PJ.

Di desa Pucangro, terdapat 8 dusun, yakni  Gemongan, Pucangro, Cangkring malang, Sidomukti, Sidomulyo, Sidodadi, Brejel, dan dusun Kuwayungan. Jumlah pemohon sertifikat Prona mencapai 460 pemohon. Jika dihitung Rp 500.000 x 460 = Maka uang haram hasil pungli yang dikumpulkan 8 kepala dusun tersebut bisa mencapai Rp 230 juta bahkan lebih, bahkan lebih. Uang itu dimakan oleh perangkat desa. Tidak masuk dalam kas desa.

Hal senada dikatakan SR (55), warga Desa Pucangro, ia mengaku diminta membayar uang Rp1,5 juta untuk mengurus pemecahan satu sertifikat menjadi tiga sertifikat.

“Oleh Kepala dusun, saya diminta membayar Rp 1,5 juta. Untuk patok tanah, dan materai beli sendiri. Saya terpaksa membayar, kalau tidak mau bayar Rp 1,5 juta, saya tidak boleh ikut program Prona 2017.  Padahal waktu sosialisasi di kantor desa katanya warga cuman dibebani biaya patok tanah, materai, dan biaya foto copi. Tapi kenyataan saya dipungut biaya jasa pelayanan pemerintah desa Rp 1,5 juta. Sebetulnya warga sangat berterima kasih adanya program Prona Pak Jokowi. Tapi dilapangan program ini disalah gunakan oleh Perangkat desa, untuk memperkaya dirinya sendiri.” Tandasnya. Minggu (15/4/2018).

Yang lebih parah lagi, Pungutan liar ini juga dikeluhkan oleh warga desa Tinggar Kecamatan Bandarkedungmulyo. Warga pemohon sertifikat Prona, dipungut biaya bervariasi mulai dari Rp 600 ribu, hingga Rp 3,8 juta / sertifikat, bahkan lebih.

Menurut pengakuan, Zainul (45), warga desa Tinggar, Kecamatan Bandarkedungmulyo, tahun 2017 lalu, saya mengajukan sertifikat Prona tahun 2017. Saat dipungut biaya oleh Pemdes Tinggar Rp 2.650.000. Waktu memungut biaya tersebut Pemdes beralasan yaitu : Untuk biaya sertifikat / kertas segel Rp  1.650.000, biaya segel tanah sawah Rp 600 ribu, dan biaya ukur Rp 450 ribu (Rp 450 ribu x 3 orang = Rp 450 ribu). Jadi semuanya Rp 2.650.000.

“Padahal yang namanya sertifikat prona itu gratis karena sudah ditangung APBN. Hanya biaya patok tanah, materai, dan foto copy saja yang dibebankan kepada warga pemohon.  Sebenarnya bukan hanya saya yang dipungut biaya. Warga yang lain juga dikenakan biaya. Namun besarnya pungutan bervariasi mulai dari Rp 600 ribu hingga Rp 3.800.000. Hampir semua pemohon dipungut biaya.” Terang Zainul.

Masih menurut Zainul, dalam melakukan pungutan Pemdes Tinggar, berdalih untuk biaya peralihan hak, ada juga dengan alasan biaya kertas segel, dan ada juga yang beralasan untuk biaya ukur tanah. Padahal Pemdes Tinggar, tidak punya kewenangan untuk menarik biaya peralihan hak atas tanah.

“Dalam menarik pungutan sifatnya memaksa. Contohnya yang saya alami sendiri Pemdes mematok harga sebesar Rp 2.650.000. Kalau tidak mau membayar uang tersebut. Saya tidak bisa mengajukan sertifikat Prona didesa. Jadi ini namanya pemaksaan. Sebetulnya warga Tinggar sangat berterima kasih dengan program Prona dari presiden Joko Widodo, karena prosesnya cepat, gratis, dan tidak berbelit-belit. Tapi program ini oleh Pemdes Tinggar, disalahgunakan, malah dijadikan kesempatan untuk menarik Pungli, dari warga. Cilakanya lagi uang hasil pungutan tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi, tidak masuk kas desa. ” Kata Zainul.

Zainul, menambahkan, untuk kasus Pungutan liar sertifikat Prona, di desa Tinggar. Pada hari Rabu 11 April 2018 lalu, sudah dilaporkan oleh warga desa Tinggar  dan Lsm Aliansi rakyat anti koropsi (Lsm Arak) ke Kejaksaan negeri Jombang.

“Kami (warga desa Tinggar), bersama Lsm Arak, terus mengawal laporan tersebut. Sampai ada putusan pengadilan.” Ucap Zainul.

Hal senada juga diungkapkan oleh Kaselan (50), warga desa Tinggar, yang juga pendukung Kepala desa Tinggar, ia mengatakan, saya mengajukan sertifikat Prona 2017 lalu dikenai biaya Rp 600 ribu. Uang tersebut saya serahkan kepada perangkat desa.

“Saya mengajukan satu sertifikat Prona, tanah warisan dari orang tua saya. Saya sertifikatkan atas nama saya, dan saya oleh Pemdes Tinggar dipungut biaya Rp 600 ribu. Saya tidak tahu itu untuk biaya apa. Untuk biaya pembelian patok, dan meterai, saya beli sendiri.” Kata Kaselan, Sabtu.

Koordinator Lsm Arak Safri Nawawi, dari penelusuran kami Didesa Tinggar, Kecamatan Bandar Kedungmulyo, tahun 2017 terdapat sekitar 570 bidang tanah yang diajukan melalui sertifikat Prona. Dan warga desa Tinggar, mengaku dipungut biaya besarnya bervariasi Mulai dari Rp 600 ribu, hingga Rp 3,8 juta / sertifikat bahkan lebih.

“Kalau dihitung jika satu sertifikat dikenakan Pungli rata-rata Rp 1 juta / sertifikat. Maka 570 x Rp 1 juta = Maka kisaran Rp 570 juta bahkan lebih. Kasus ini sudah kami laporkan ke Kejaksaan Negeri Jombang, hari Rabu 11 April 2018 lalu.” Kata Safri.

Sedangkan hasil infestigasi kami didesa Pucangro, Kecamatan Gudo, pemohon sertifikat Prona, mencapai sekitar 460 bidang. Pemerintah desa Desa Pucangru, berpura-pura mengratiskan biaya sertifikat Prona.

Warga pemohon sertifikat mengaku dipungut biaya oleh Pemdes Pucangro, dengan dalih pengurusan surat-surat tanah di Desa. Besarnya pungutan tersebut bervariasi mulai dari Rp 500 ribu, sampai Rp 700 ribu / bidang tanah. Meski sudah membayar uang Pungli yang diminta Perangkat desa. Pemohon sertifikat harus membeli patok tanah, dan materai, sendiri.

“Jadi seolah-olah Pemdes Pucangro, mengratiskan biaya sertifikat Prona kewarga, dan untuk biaya patok tanah, dan materai, warga minta beli sendiri.  Padahal  warga yang akan mengajukan sertifikat Prona masih dikenai Pungli dengan alasan biaya pengurusan surat-surat tanah didesa. Pungutan tersebut juga tanpa dasar hukum, dan digunakan untuk kepentingan pribadi perangkat Desa.”

Jika dihitung 460 sertifikat X Rp 500.000 =  maka uang terkumpul kisaran Rp  230 juta. Jadi ada potensi merugikan perekonomian masyarakat. Oleh karena Pemdes Pucangro, secepatnya juga akan kami laporkan kepada penegak hukum.

“Penyalahgunaan program Prona oleh Pemdes Tinggar dan Pucangro, akan merugikan masyarakat, dan bisa berdampak buruk kepada program pemerintah pusat tersebut. Oleh karena itu aparat penegak hukum di Jombang harus bertindak tegas.” Tegas Safri.

Ditempat terpisah Kepala BPN Kabupaten Jombang, Ribut Hari Cahyono mengungkapkan, bahwa program percepatan pendaftaran tanah sistematis, atau yang dikenal oleh masyarakat program Prona, itu memang digratiskan kepada masyarakat.

“Jadi pihak BPN tidak memungut biaya apa-apa dari masyarakat. Saya juga telah memerintahkan kepada staf-staf saya agar tidak memungut biaya ke masyarakat karena program ini sudah dibiayai dari APBN.” Kata Ribut Hari Cahyono, kepada NusantaraPosOnline.Com, dikantornya BPN Jl. KH. Wahid Hasyim No.112, Kepatihan, Kec. Jombang, Kabupaten Jombang.  Rabu (18/4/2018)

Namun Ribut, tidak menampik adanya biaya yang dikenakan kepada warga. Biaya tersebut adalah untuk pembelian patok, meterai, biaya foto kopi berkas dalam proses pembuatan sertifikat.

“Namun besarnya biaya yang dibebankan kepada masyarakat, itu sudah ditetapkan dalam Surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri, yakni Menteri Agraria dan tata ruang, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Desa, pembangunan daerah tertinggal, dan Transmigrasi. Nomor : 25/SKB/V/2017, Nomor : 590-31674 tahun 2017, dan Nomor : 34 Tahun 2017, Tertanggal 22 Mei 2017. Tentang pembiayaan persiapan tanah sistematis, atau sertifikat Prona. Pemerintah desa/kelurahan di pulau Jawa hanya diperbolehkan memungut biaya kepada masyarakat sebesar Rp 150 ribu / sertifikat.” Kata Ribut.

Jadi pungutan Rp 150 ribu, tersebut yang dibebankan kepada masyarakat, untuk biaya patok tanah, biaya foto kopi berkas dalam proses pembuatan sertifikat, yang akan diajukan ke BPN.

“Dalam pengajuan sertifikat Prona, ada kemudahan masyarakat tidak perlu dibuatkan Akta yang dibuat oleh Pejabat pembuat akta tanah (PPAT). Masyarakat cukup dengan surat pernyataan diatas materai. Oleh karena itulah masyarat pemohon sertifikat Prona, tidak dikenakan pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).” Terang Ribut.

Dari penelusuran NusantaraPosOnline.Com,  program Prona, dari BPN, ini mendapat sambutan sangat baik oleh masyarakat di Jombang. Banyak masyarakat yang menunggu-nunggu desanya agar mendapatkan jatah program Prona. Karena hal ini sangat membantu warga. Proses sertifikat Prona cepat, juga gratis. Masyarakat hanya dikenakan biaya Rp 150 ribu/ sertifikat, untuk pembelian patok, meterai, biaya foto copi berkas dalam proses pembuatan sertifikat.

Jadi kalau ada Pemerintah desa di Jombang, yang menolak melaksanakan program Prona, kinerja Kepala desanya perlu dipertanyakan ?. (rin/yan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!