Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Nasional

Pakar Hukum Pidana : RKUHP Bentuk Arogansi Politikus Senayan

×

Pakar Hukum Pidana : RKUHP Bentuk Arogansi Politikus Senayan

Sebarkan artikel ini
Ahli hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar, SH, MH

JAKARTA, NusantaraPosOnline.Com-Ahli hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar, SH, MH, menilai Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) tak lepas dari sikap arogan para politikus di parlemen.

Alih-alih mendengar suara rakyat, anggota DPR yang terlibat penyusunan RKUHP hanya mengutamakan kepentingan perut mereka sendiri.

RKUHP ini sendiri selesai dibahas pada Minggu (15/9) malam. Draf RKUHP ini akan dibawa ke rapat paripurna DPR untuk disahkan pada 24 September 2019, namun pengesahan RKUHP tanggal 24 Semptember 2019 akhirnya ditunda dalam batas waktu yang tidak ditentukan, karena banyak penolakan dari berbagai kalangan. Meski demikian, masih terdapat sejumlah pasal yang menuai pro kontra di masyarakat.

“Itu sikap arogansi politikus, dia tidak menyadari eksistensi sebagai wakil rakyat yang mewakili dan punya kewajiban menyerap aspirasi masyarakatnya,” ujar dia melalui keterangan tertulis, Rabu (18/9).

Menurut Ficar, kondisi ini tak lepas dari keberadaan oligarki yang hanya peduli pada kepentingan kelompoknya. Mereka dinilai tak bersikap bijaksana dan tak mengakomodasi kebutuhan masyarakat.

“Saat ini kita sedang mengalami krisis kepemimpinan yang negarawan pada semua level tingkatan,” katanya.

Ficar menuturkan sejumlah pasal yang bermasalah dalam RKUHP di antaranya tentang makar, persetubuhan di luar perkawinan, hingga penghinaan kepada presiden.

Pada poin persetubuhan di luar perkawinan dinilai Ficar tak tepat karena sifatnya privat. Negara, kata dia, mestinya tak perlu terlalu jauh menggunakan hukum pidana untuk menjerat pihak yang melakukannya.

Sementara dalam pasal penghinaan kepada presiden menurut Ficar tak lagi relevan dalam kehidupan masyarakat yang demokratis.

“Apalagi ketentuan itu juga sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.” ucapnya.

Salah satu pasal yang disoroti adalah pasal 223 dan 224 soal larangan penyerangan terhadap harkat martabat presiden dan wakil presiden. Dua pasal itu mengancam orang yang menghina presiden dengan hukuman maksimal 3,5 tahun dan 4,5 tahun penjara.

Selain pasal penghinaan presiden, sejumlah kelompok sipil juga menyoroti pasal-pasal yang memidanakan makar, seperti pasal 195, 196, dan197. Berkaca dari peristiwa reformasi 1998 dan akhir-akhir ini, pasal itu dinilai anti-demokrasi.

Pada Mei 2019, Ketua DPR Bambang Soesatyo menjelaskan bahwa keberadaan RKUHP sangat penting sebagai kodifikasi hukum di Indonesia. Dalam RKUHP itu, kata dia, akan mengatur perbuatan-perbuatan pidana atau apa saja yang dianggap sebagai perbuatan jahat dan mengatur berat ringannya hukuman.

“Dan RKUHP dipakai sebagai pedoman bagi penegak hukum dalam menentukan kesalahan seseorang yang melakukan tindak pidana,” kata dia.

Lebih lanjut, Bamsoet mengatakan proses pembahasan RKUHP di DPR sudah sesuai dengan Tata Tertib dan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.

Bamsoet mengklaim Panitia khusus (Pansus) RKUHP telah memberikan ruang bagi masyarakat luas untuk menyampaikan aspirasi di DPR terkait revisi aturan tersebut.

“Pansus RKUHP telah memberikan ruang bagi masyarakat secara terbuka untuk menyampaikan aspirasinya melalui Rapat Dengar Pendapat Umum,” kata dia.

Bamsoet menyarankan bahwa pembahasan RKUHP di DPR sudah dilaksanakan secara transparan agar dapat diakses masyarakat. (bd)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!