JAKARTA, NusantaraPosOnline.Com-Ahli hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar, SH, MH, menilai Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) tak lepas dari sikap arogan para politikus di parlemen.
Alih-alih mendengar suara rakyat, anggota DPR yang terlibat
penyusunan RKUHP hanya mengutamakan kepentingan perut mereka sendiri.
RKUHP ini sendiri selesai dibahas pada Minggu (15/9) malam.
Draf RKUHP ini akan dibawa ke rapat paripurna DPR untuk disahkan pada 24
September 2019, namun pengesahan RKUHP tanggal 24 Semptember 2019 akhirnya
ditunda dalam batas waktu yang tidak ditentukan, karena banyak penolakan dari berbagai
kalangan. Meski demikian, masih terdapat sejumlah pasal yang menuai pro
kontra di masyarakat.
“Itu sikap arogansi politikus, dia tidak menyadari eksistensi sebagai
wakil rakyat yang mewakili dan punya kewajiban menyerap aspirasi
masyarakatnya,” ujar dia melalui keterangan tertulis, Rabu (18/9).
Menurut Ficar, kondisi ini tak lepas dari keberadaan oligarki yang hanya peduli
pada kepentingan kelompoknya. Mereka dinilai tak bersikap bijaksana dan tak
mengakomodasi kebutuhan masyarakat.
“Saat ini kita sedang mengalami krisis kepemimpinan yang negarawan pada semua level tingkatan,” katanya.
Ficar menuturkan sejumlah pasal yang bermasalah dalam RKUHP di
antaranya tentang makar, persetubuhan di luar perkawinan, hingga penghinaan
kepada presiden.
Pada poin persetubuhan di luar perkawinan dinilai Ficar tak
tepat karena sifatnya privat. Negara, kata dia, mestinya tak perlu terlalu jauh
menggunakan hukum pidana untuk menjerat pihak yang melakukannya.
Sementara dalam pasal penghinaan kepada presiden menurut
Ficar tak lagi relevan dalam kehidupan masyarakat yang demokratis.
“Apalagi ketentuan itu juga sudah dibatalkan oleh Mahkamah
Konstitusi.” ucapnya.
Salah satu pasal yang disoroti adalah pasal 223 dan 224 soal
larangan penyerangan terhadap harkat martabat presiden dan wakil presiden. Dua
pasal itu mengancam orang yang menghina presiden dengan hukuman maksimal 3,5
tahun dan 4,5 tahun penjara.
Selain pasal penghinaan presiden, sejumlah kelompok sipil
juga menyoroti pasal-pasal yang memidanakan makar, seperti pasal 195, 196,
dan197. Berkaca dari peristiwa reformasi 1998 dan akhir-akhir ini, pasal itu
dinilai anti-demokrasi.
Pada Mei 2019, Ketua DPR Bambang Soesatyo menjelaskan bahwa
keberadaan RKUHP sangat penting sebagai kodifikasi hukum di Indonesia. Dalam
RKUHP itu, kata dia, akan mengatur perbuatan-perbuatan pidana atau apa saja
yang dianggap sebagai perbuatan jahat dan mengatur berat ringannya hukuman.
“Dan RKUHP dipakai sebagai pedoman bagi penegak hukum
dalam menentukan kesalahan seseorang yang melakukan tindak pidana,” kata
dia.
Lebih lanjut, Bamsoet mengatakan proses pembahasan RKUHP di
DPR sudah sesuai dengan Tata Tertib dan peraturan perundangan-undangan yang
berlaku.
Bamsoet mengklaim Panitia khusus (Pansus) RKUHP telah
memberikan ruang bagi masyarakat luas untuk menyampaikan aspirasi di DPR
terkait revisi aturan tersebut.
“Pansus RKUHP telah memberikan ruang bagi masyarakat
secara terbuka untuk menyampaikan aspirasinya melalui Rapat Dengar Pendapat
Umum,” kata dia.
Bamsoet menyarankan bahwa pembahasan RKUHP di DPR sudah
dilaksanakan secara transparan agar dapat diakses masyarakat. (bd)