JOMBANG, NusantaraPosOnline.Com-Sebanyak delapan Kepala dusun (Kasun), di desa Desa Pucangro, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang, Jawa timur, diduga melakukan praktek Pungutan liar (Pungli) terhadap warganya sendiri, yang mengajukan sertifikat melalui Proyek operasi nasional agraria (Prona) tahun 2017.
Besarnya pungutan tersebut bervariasi masing-masing pemohon sertifikat Prona, dipungut biaya bervariasi yakni kisaran Rp 500 ribu hingga Rp 700 ribu, bahkan lebih.
Dari penelusuran NusantaraPosOnline.Com, pelaksanaan Prona di desa Pucangro, dilaksanakan oleh kepala dusun masing-masing. Di desa Pucangro, terdapat 8 dusun Gemongan, Pucangro, Cangkring malang, Sidomukti, Sidomulyo, Sidodadi, Brejel, dan dusun Kuwayungan. Jumlah pemohon sertifikat Prona mencapai 460 pemohon. Jika dihitung 460 x Rp 500.000 = maka uang haram hasil pungli yang dikumpulkan 8 kepala dusun tersebut bisa mencapai Rp 230 juta bahkan lebih. Sungguh jumlah yang fantastis.
Padahal menurut Surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri yaitu Menteri Agraria dan tata ruang, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Desa, pembangunan daerah tertinggal, dan Transmigrasi. Nomor : 25/SKB/V/2017, Nomor : 590-31674 tahun 2017, dan Nomor : 34 Tahun 2017, Tertanggal 22 Mei 2017. Tentang pembiayaan persiapan tanah sistematis. Pemerintah desa diwilayah Pulau Jawa hanya diperbolehkan memungut biaya dari masyarakat sebesar Rp 150 ribu. Uang tersebut untuk biaya patok tanah, materai, biaya foto copy, dan transpot panitia didesa.
“Dalam SKB tersebut sangat jelas. Bahwa pemerintah desa hanya boleh memungut biaya Rp 150 ribu. Lalu delapan perangkat dusun, didesa Pucangro, berani memungut biaya sampai Rp 500 ribu hingga Rp 700 ribu, ini jelas-jelas Pungli. Jadi harus diproses hukum.” Kata Koordinator Lsm Aliansi rakyat anti korupsi (Lsm Arak) cabang Jombang, Rianto, Minggu (18/3/2018).
Rianto, juga menambahkan disamping hanya boleh memungut biaya Rp 150 ribu dari warga, warga juga dibebaskan dari pajak Biaya perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), jadi tidak ada alasan Pemdes Pucangro, memungut biaya sertipikat Prona kepada warga hingga mencapai Rp 500 ribu hingga Rp 700 ribu bahkan lebih. Ini jelas-jelas pungli.
“Apa yang dilakukan delapan Kepala dusun di Desa Pucangro, tidak bisa dibiarkan, harus di proses hukum, biar ada efek jera. Perbuatan ini sudah menimbulkan kerugian perekonomian masyarakat. Dan juga menyebabkan program Prona tidak berjalan dengan baik.” Pungkas Rianto.
Rianto, juga menceritakan ada hal yang menarik dari, kasus Pungli desa Pucangro. Karena ada dua orang mengaku dari sebuah Lsm mendatangi rumahnya pada hari Sabtu 17 Maret 2018 siang, dua orang tersebut diketahui bernama Baun, dan Yanto, intinya mereka membekingi kasus ini.
“Hari Saptu siang mendatangi rumah saya intinya mereka membekingi kasus Pungli Prona di desa Pucangro. Usai mendatangi rumah saya, keesokan harinya yakni Minggu 18 Maret 2018 yang bersangkutan masih menelpon saya, dan minta bicara baik-baik masalah kasus ini. Seolah-olah mereka ini adalah penguasa wilayah kecamatan Gudo. Jadi ini Lsm yang lucu dan konyol.” Ujar Rianto, sambil tertawa-tawa, menceritakan kejadian tersebut.
Diberitakan sebelumnya Menurut PJ (40) warga Desa Pucangro, mengatakan, waktu sosialisasi dikantor desa Pucangro, biaya Prona ditetapkan Rp 150 ribu. Pungutan Rp 150 ribu, tersebut untuk biaya pembelian patok tanda batas tanah, biaya materai, foto copy, dan biaya transpot panitia didesa. Tapi kenyataanya dilapangan berbeda, malah saya mengajukan pemecahan sertifikat menjadi 4 sertifikat dipungut biaya Rp 2,8 juta. Jadi satu sertifikat Rp 700 ribu. Pungutan tersebut ditarik langsung oleh Kepala dusun Berjel.
“Katanya biaya Rp 150 itu bohong. Nyatanya kami warga dipungut pungli Rp 700 ribu / pemohon. Saya bayar Rp 700 ribu, patok tanah beli sendiri, materai juga beli sendiri. Saya sangat kecewa, bayar Rp 700 ribu hanya untuk biaya servis pemerintah desa Pucangro. Masak untuk mendapat pelayanan pemerintah desa Pucangro, masyarakat harus bayar biaya pelayanan Pemdes.” Kata PJ, kepada NusantaraPosOnline.Com, Kamis (15/3/2018).
Masih menurut PJ, pungutan liar tersebut berdalih untuk pengurusan surat-surat tanah didesa. Padahal Pemerintah desa tidak punya kewenangan untuk memungut biaya surat-surat tanah didesa. Jadi pungutan Rp 700 ribu tersebut, jelas-jelas Pungli alias maling. Ujarnya.
Hal senada dikatakan SR (55), warga lainnya. mengaku mengeluarkan uang Rp1,5 juta untuk mengurus pemecahan satu sertifikat menjadi tiga sertifikat.
“Bayar uang tersebut kepada Kepala Dusun. Meski sudah bayar Rp 1,5 juta, untuk biaya patok tanah, dan materai beli sendiri. Saya terpaksa membayar, kalau tidak mau bayar Rp 1,5 juta, saya tidak boleh ikut program Prona. Saya tidak habis fikir, waktu sosialisasi di kantor desa katanya cuma bayar Rp 150 ribu. Tapi kenyataan saya dipungut Rp 1,5 juta.” Tandasnya.
Selain membayar, lanjutnya, dia juga diminta membeli patok untuk digunakan sebagai tanda batas tanah.
“Bukan hanya saya yang dipungut biaya selangit, tapi semua warga yang mengajukan sertifikat Prona di desa semua dikenakan Pungli kisaran Rp 500 ribu sampai Rp 700 ribu / sertifikat bahkan lebih. Pungutan tersebut ditarik melalui kepala dusun masing-masing.” Kata SR, Kamis (15/3/2018).
Kepala Desa Pucangro, Sirat, ia mengatakan untuk pelaksanaan Prona, warga cuman dipungut biaya Rp 150 ribu. Dan itu sudah disosialisasikan kepada masyarakat, biaya tersebut untuk beli patok tanah, materai, biaya foto copy, dan transpot panitia Prona didesa.
“Pelaksanaan Prona dilaksanakan oleh kepala dusun masing-masing. Jadi kalau ada pungutan diatas Rp 150 ribu, saya malah tidak tahu kalau ada pungutan hingga Rp 700 ribu/ sertifikat. Kalau ada pungutan diatas Rp 150 ribu, itu tangung jawab Kepala dusun masing-masing, karena saya tidak pernah memerintahkan pungutan diatas Rp 150 ribu.” Tegas Sirat, Selasa (13/3/2018). (rin/why)