Lsm Arak, Cium Bau KKN Di Proyek 3000 BRT Kemenhub

JAKARTA (NusntaraPosOnline.Com)-Tahun 2015 lalu Kementrian perhubungan, meluncurkan program pembelian 3000 unit Bus rapid transit (BRT), untuk periode 2015-2019. Namun perencanaan program tersebut oleh Lsm Aliansi rakyat anti korupsi (Lsm Arak), dinilai bobrok.

Pasalnya proyek pembelian BRT yang terpusat di Kemenhub, yang didanai dari APBN 2015 – 2019  yang mencapai kisaran Rp 4,2 triliun atau lebih tersebut. diangap hanya menguntungkan pejabat dilingkungan Kemenhub, dan para rekanan-rekananya saja (pemenang tender). Karena proyek tersebut dipaksakan oleh para pejabat Kemenhub. Sehingga yang terjadi BRT yang dibeli mangkrak dimana-mana.

“Yang ngotot beli 3000 unit BRT, tersebut para pejabat kemenhub. Tanpa mempertimbangkan kebutuhan daerah. Saya curiga jangan-jangan proyek ini dimunculkan hasil kong-kalikong antara Pejabat Kemenhub, dan pabrik mobil. Untuk kepentingan pribadi mereka. Bukan kebutuahan daerah (Kabupaten/kota, atau propinsi).” Kata Kordinator Lsm Aliansi rakyat anti korupsi (Arak), Safri Nawawi.

Safri Nawawi, mengatakan proyek pengadaan 3000 BRT tersebut dilaksanakan Direktur Bina Sarana Transportasi Perkotaan (BSTP), Dirjen perhubungan darat (Dirjen PHD), pembelian tahap awal tahun 2015, waktu itu Menteri perhubungan dan Direktur BPSTP, pidato dimana-mana bahwa pembelian tahap awal sebanyak 1000 BRT ukuran besar, tapi pada pelaksanaannya malah yang dibeli lebih dari itu, yaitu 1025 BRT.

Kemenhub berhati-hati dalam memberikan bantuan Bus tersebut kepada daerah.Tapi kenyataanya dilapangan dari 1025 uni BRT tersebut diberikan : Ke PT Damri sebanyak 825 unit BRT,  yang kini mangkrak dimana-mana. Sedangkan yang 200 unit BRT, 8 daerah.

Kami mendapat kabar, bahwa BRT ukuran besar yang dibeli, tersebut banyak yang tidak cocok dengan-daerah yang akan diberi bantuan. Akhirnya BRT tersebut diserahkan ke PT Perum Damri.  Meski pengadaan BRT tahap awal bermasalah, Kemenhub terus melanjutkan proyek tersebut, pada tahap 2 tahun 2016 lalu,  namun pembelian tahap dua, sedikit berbeda dari tahap awal. Pihak Kemenhub agak tertutup, dari pablik, tidak melakukan pidato dan siaran dimana-mana. Sehingga masyarakat agak kesulitan mendapatkan informasi, diberikan kedaerah mana saja BRT yang dibeli tahun 2016. Dan pada tahun 2017 pembelian tahap tiga sedang dilaksanakan oleh Kemenhub.

Proyek 3000 BRT periode 2015 – 2019 tersebut, menurut rencana pembelian tahap awal tahun 2015 sebanyak 1000 unit, tahap dua 2016 sebanyak 500 unit, tahap tiga 2017 sebanyak 500 unit, dan tahap empat tahun 2019 sebanyak 500 unit. Tapi baru tahap awal saja, proyek ini sudah bermasalah. Namun oleh Kemenhub, tetap dipaksakan dilanjutkan.

“Mungkin saja karena ada komitmen antara pejabat Kemenhub, dengan produsen otomotif (pabrik mobil). Aparat penegak hukum, dan lembaga berwewenang lainya, perlu melakukan penyelidikan terhadap proyek ini. Supaya proyek yang nilainya triliunan ini tidak disalah gunakan.”   Tegas Safri.

Safri menambahkan, tidak menutup kemungkinan kasus pengadaan 3000 unit BRT periode 2015 – 2019 ini mirip kasus, kasus dugaan suap pembelian pesawat Airbus A330. Dengan tersangka direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Emirsyah Satar.

Emirsyah diduga menerima suap dari Soetikno dalam bentuk uang sebesar Euro 1,2 juta dan US$ 180 ribu atau setara dengan Rp 20 miliar. Ia juga diduga menerima suap dalam bentuk barang senilai US$ 2 juta. Barang itu tersebar di Singapura dan Indonesia.

Suap-suap itu diduga diberikan dalam rentang 2005-2014, saat Emirsyah masih menjabat sebagai Direktur Utama Garuda Indonesia. KPK menduga suap itu diberikan agar Emirsyah membeli mesin pesawat di Rolls Royce.

Sebagai mana diberitakan sebelumnya, pengelolaan dana  APBN untuk pembelian 3000 unit BRT tersebut, yang bersumber dari alokasi anggaran hasil penghematan subsidi BBM, tidak dikelola secara profesional oleh Ditjen PHD. Dana tersebut dikelola hanya menguntungkan segelintir pejabat dilingkungan Kemenhub, dan rekanan-rekananya. Ada beberapa kritikan atas pelaksanaan proyek tersebut yaitu :

  1. Pengadaan 3000 BRT yang terpusat di Kemenhub, menimbulkan kesan bahwa proyek tersebut adalah hasil kong-kalikong, pejabat Kemenhub. Sehingga Pejabat Kemenhub, akan merasa dirugikan jika pembelian BRT tidak melalui mereka.
  2. Perencanaan proyek 3000 unit BRT, tidak memperhitungkan kebutuhan, kondisi Daerah yang akan menerima bantuan. Bus dibeli terlebih dahulu, kemudian barulah Kemenhub memikirkan BRT akan diserahkan kedaerah mana.
  3. Proyek tersebut dipaksakan terpusat di Kemenhub, telah menyebabkan biaya transportasi pengiriman BRT kedaerah penerima bantuan masih menjadi beban tambahan APBN, hal ini jelas-jelas pemborosan anggaran.
  4. Kurangnya pembedayaan yang dilakukan Kemenhub, terhadap Dinas Perhubungan tingkat daerah. Kemenhub perlu belajar dari tahun-tahun sebelumnya dengan program yang ada, bahwa kurangnya pemberdayaan Dinas Perhubungan di daerah, dan tidak berkesinambungan menyebabkan kebijakan dipusat tidak singkron dengan kebijakan didaerah, sehingga proyek 3000 unit BRT relative mubazir/mangkrak atau tidak dipergunakan secara semestinya.
  5. Pemerintah Daerah penerima bantuan BRT mengalami kesulitan dalam penyediaan anggaran untuk meng Operasikan dan maintenance (O&M), pembangunan halte, yang mengikuti design Bus. Bukan hanya itu pemerintah Daerah, juga mengalami kesulitan dalam pemilihan rute jalan untuk mengoperasikan BRT yang berukuran besar.
  6. Perencanaan proyek 3000 BRT tidak melalui pengkajian yang matang, tidak mempertimbangkan kebutuhan Daerah, dan kondisi jalan yang ada di Daerah penerima bantuan. Sehinga mengakibatkan beberapa daerah ada yang batal/menolak menerima bantuan BRT tersebut. Ini adalah cerminan bobroknya perencanan oleh Kemenhub.
  7. Perencanaan proyek 3000 BRT, kurang mempertimbangkan sistem management dan kelembagaan atas BRT dan belum mempertimbangkan ketersediaan SDM yang akan mengoperasikan dan maintenance (O&M) BRT. Kemenhub hanya memperhitungkan PT Damri sebagai operator utama BRT. Padahal PT Damri yang ada saat ini juga pada level manajemen terpusat yang akan sulit memenuhi standard kebutuhan angkutan umum di daerah. Karena kendala dari hasil pengadaan bus terpusat yang telah berjalan, O&M kurang optimal serta kelangsungan pembiayaan tidak terjadi, sistem subsidi juga kurang jelas. Sampai saat ini belum ada BRT di Indonesia yang berkembang dan memberikan pelayanan memuaskan pada masyarakat.

Ada beberapa solusi untuk pengunaan anggaran peningkatan pelayanan trasportasi perkotaan dengan bus sistem di kota-kota besar Indonesia, diantarnya adalah :

  1. Kemenhub harus konsentrasi pada kebijakan, standard prosedur, standard pengadaan, standard management operator BRT. Kemenhub tidak perlu terlalu mengurusi hal-hal teknis apalagi sampai terlibat (menangani langsung) pembelian BRT, sampai ikut terlibat lansung membagi-bagaikan BRT ke daerah-daerah. Karena tugasnya Kemenhub harus mencitapkan vision yang lebih besar untuk pengembangan angkutan massal secara menyeluruh dan menciptakan sistem integrasinya. Jadi apa yang dilakukan saat ini menyibukan diri dengan terlibat langsung secara teknis dengan pembelian BRT, dan pengiriman BRT. Ini artinya Kemenhub telah mengkerdilkan fungsi dan kewenangan Kemenhub itu sendiri.
  2. Pengadaan BRT harus dilakukan di Daerah, untuk mendorong peran aktif Dinas Perhubungan Provinsi/Daerah, agar adanya sinergi dalam perencanaan dan menciptakan kebijakan pendukung. Serta adanya perencanaan subsidi BRT apabila di diperlukan.
  3. Pemerintah Daerah agar bisa menganggarkan pembanguanan dan pemeliharaan jalan dan fasilitas umum penunjang angkutan umum. Karena pemerintah Daerah lebih memahami calon penumpang BRT pada trayek-trayek tertentu untuk disesuaikan dengan ukuran dan kapasitas layanan BRT.
  4. Untuk menciptakan system kelembagaan dan O&M yang berkesinambungan, sehingga perlu didirikan BUMD untuk pengelola BRT. Karena luasnya 34 provinsi di Indonesia maka pengelolaan BRT tidak hanya terfokus pada PT. Damri. Dengan pengembangan manajemen di daerah diharapkan SDM yang tersebar di daerah akan terakomodasi sehingga sense of belonging dari SDM daerah akan tumbuh dan berkembang.
  5. Anggaran APBN untuk pengadaan bus system bisa berupa Penanaman Modal Pemerintah (PMP) untuk BUMD Pengelola BRT. Untuk mendorong dan mempercepat pengelolaan yang professional dan berkesinambungan BUMD Pengelola BRT, didorong (encourage) untuk bekerjasama dengan Swasta dengan pola Public Private Partnership (PPP). Kerjasama PPP dengan Perusahaan Swasta yang sudah memiliki pengalaman O&M Bus. Pola operasional bisa dengan Leasing Bus pada periode konsesi. Apabila Leasing 5 tahun maka Konsesi dengan Perusahaan Swasta cukup 10 tahun, atau 2 kali masa leasing. Dengan pola ini, maka pemanfaatan APBN yang menjadi PMP akan lebih optimal, PMP senilai Rp.4,2 Trilun (setara 3000 bus) sebagai Equity BUMD Pengelola BRT bisa untuk mendapatkan Leasing Bus 3 kali lipat atau Rp.12,6 Trilun (setara 9000 unit BRT). Sehingga penyelesaian atas pengurangan kemacetan dan pengembangan angkutan umum berbasis Bus pada kota-kota besar di DiIndonesia akan jauh lebih maksimal dan berkesinambungan.
  6. Pada waktu mendatang, depo pemeliharaan bus, pabrik karoseri bus bisa dikembangkan di daerah-daerah di Indonesia.

Sebagai informasi dari hasil penelusuran koran ini Proses usulan proyek 3000 BRT tersebut, diusulkan dari Subdit angkutan perkotaan seharusnya berdasarkan permintaan dari daerah. Lalu usulan ini disampaikan ke tingkat Direktur BSTP melalui Subdit jaringan transportasi perkotaan ke bagian perencanaan Setditjen Perhubungan Darat. Setelah dibahas bersama dengan Dirjen Perhubungan darat, baru proyek diusulkan ke biro perencanaan Kemenhub.

Oleh biro prencanaan Kemenhub dibahas dan dimintakan persetujuan Menteri. Setelah proyek disetujui Menhub, barulah dianggarkan dan Pekerjaan pengadaan BRT dilakukan oleh Direktur BSTP. Direktur BSTP selaku KPA dan PPK yang ditunjuk.

Kemudian pengadaan tahap ke dua dan tiga (2016 dan 2017) pengadaan BRT ditangani oleh Direktorat Angkutan dan Multimoda, sekaligus sebagai Kuasa penguna anggaran (KPA).

Jadi kalau peroyek 3000 BRT tersebut, betul-betul usulan dari daerah, tidak BRT yang sudah dibeli mangkrak dimana-mana. Jadi secara structural yang harus bertanggung jawab adalah, :

  1. Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, DR. Ir, Djoko sasono, MSc (2014 – 2015) Saat ini Djoko sasono, sedang menjabat sebagai Staf alhli Bidang logistic, multimoda dan keselamatan perhubungan, Kemenhub RI.
  2. Direktur BSTP Ir. Juju Endah Wahjuningrum, MT (2015 -2016), Saat ini ia menjabat Direktur prasarana perhubungan darat.
  3. Kabag perencanaan Setditjen Perhubungan Darat, Ir Djamal subastian, MSc
  4. Kasubdit Angkutan Perkotaan DIT. BSTP,
  5. Kasubdit Jaringan Transportasi Perkotaan DIT. BSTP.
  6. Direktorat Angkutan dan Multimoda, Cucu Mulyana (menjabat 2016 – sampai sekarang)

Jadi  secara structural, pejabat-pejabat yang menduduki jabatan tersebut diataslah yang harus betangung jawab atas proyek 3000 BRT. (Rin/yan)

BERIKUT INI PEJABAT KEMENHUB YANG WAJIB  BERTANGUNG JAWAB ATAS PROYEK 3000 BRT PREODE 2015 – 2019 :

Mantan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, DR. Ir, Djoko sasono, MSc (2014 – 2015) Saat ini Djoko sasono, sedang menjabat sebagai Staf alhli Bidang logistic, multimoda dan keselamatan perhubungan, Kemenhub RI.
Ir. Juju Endah Wahjuningrum, MT  mantan Direktur BSTP  (2015 -2016), Saat ini menjabat basah yaitu Direktur prasarana perhubungan darat.
Direktorat Angkutan dan Multimoda, Cucu Mulyana (menjabat 2016 – sampai sekarang)
Ir Djamal subastian Kabag perencanaan Setditjen Perhubungan Darat

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!