JAKARTA, NUSANTARAPOSONLINE.com-Lsm Aliansi rakyat anti korupsi (Lsm Arak), menuntut Menteri perhubungan RI, Budi karya sumadi, agar memecat empat pejabat dilingkungan Kementrian perhubungan, dan agar tidak lagi menduduki jabatan penting di lingkungan Kemenhub RI.
Adapun empat pejabat tersebut yakni : (1). Mantan Direktur jendral perhubungan darat (Dirjen PHD) DR Ir Djoko Sasono, MSc, dan saat ini ia menjabat sebagai Kepala badan pengembangan Sumber daya manusia Perhubungan Kementrian Perhubungan, (2). Mantan Direktur Bina Sistem Transportasi Perkotaan (Dit BSTP), Ir, Juju endah wahyuningrum, MT, sekarang menjabat Direktur prasarana perhubungan darat , (3). Direktorat Angkutan dan Multimoda, Cucu Mulyana, dan (4). Kabag perencanaan Setditjen Perhubungan Darat, Kementrian perhubungan RI, Ir Djamal subastian, MSc
Tuntutan ini disampaikan menyusul tahun 2015 lalu, Kemenhub, melalui DBSTP, Dirjen PHD, meluncurkan program pengadaan sebanyak 3.000 unit Bus Rapid Transit (BRT) untuk periode 2015-2019. Pembelian 3000 BRT yang terpusat (tersentral) di Kemenhub tersebut didanai dari dari APBN, yang bersumber dari alokasi anggaran hasil penghematan subsidi BBM.
Kordinator Lsm Aliansi rakyat anti korupsi (Lsm Arak) Safri Nawawi, mengatakan proyek 3000 BRT tersebut, dipaksakan oleh bebeapa pejabat dilingkungan Dirjen PHD, anehnya lagi pembelian bus tersebut dipusatkan di Kemenhub. Untuk membiayai proyek tersebut per unit BRT kisaran Rp.1,4 Milyar (tidak termasuk ongkos kirim), jadi diperkirakan anggaran untuk pengadaan BRT ini diperkirakan mencapai Rp.4,2 trilun atau lebih.
Namun sayangnya, proyek ini sangat bobrok, proyek yang menguras anggaran triliunan ini, hanya menguntungkan pejabat Kemenhub dan rekananya saja, tidak buat rakyat. “Kami curiga proyek ini digunakan beberapa oknum pejabat Kemenhub, untuk melangengkan salah satu perusahaan produsen mobil asal Jepang. Dengan tujuan untuk mendapatkan imbalan dari pabrik yang bersangkutan. Indikasi ini muncul karena proyek ini dipaksakan, tanpa melalui kajian yang matang. Sehingga kurang membawa manfaat apa-apa buat rakyat. Hanya menguntungkan beberapa pejabat Kemenhub, dan rekanan-rekanannya.” Ucap Safri. Rabu (20/9/2017)
Menurutnya, uang Negara habis triliunan, untuk membiayai proyek bobrok tersebut, oleh karena itu kami meminta pejabat yang terlibat dalam pengadaan proyek tersebut dipecat dari jabatan. Secara struktural pejabat yang harus bertangung jawab adalah Dirjen PHD, DBSTP, Kepala bagian perencanaan sekretariat Dirjen PHD, dan Direktorat Angkutan dan Multimoda.
Waktu proyek itu dimulai 2015 lalu, menurut pantauan Lsm Arak, ada empat orang yang menduduki jabatan tersebut yaitu, Djoko Sasono, Juju endah wahyuningrum, Djamal subastian, dan tahun 2016 proyek dilanjutkan Direktorat Angkutan dan Multimoda, Cucu Mulyana. Jadi minimal 4 orang inilah yang harus bertanggung jawab, atas bobroknya proyek triliunan rupiah tersebut. APBN harus dikelola untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk oknum-oknum pejabat Kemenhub, pabrik mobil, rekanan-rekanannya saja. Tegas Safri
“Cuman aneh meski kinerja mereka 4 orang tersebut buruk, saat ini orang-orang ini masih menempati jabatan penting di Kemenhub RI. Kami sudah berkirim surat ke Menteri perhubungan, agar 4 orang ini dipecat dari jabatan, dan tidak menempati jabatan-jabatan penting di lingkungan Kemenhub RI.” Tegas Safri, pria kelahiran Palembang
Selain meminta pemecatan, Lsm Arak juga akan berkirim surat kepada KPK agar melakukan penyelidikan terkait proyek pengadaan Bus dilingkungan Kemenhub tersebut. karena ada kemungkinan adanya praktek penyimpangan yang berpotensi merugikan keuangan Negara.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, pada tahun 2015 lalu Kemenhub, meluncurkan program pembelian 3000 unit Bus rapid transit (BRT), untuk periode 2015-2019. Namun perencanaan program tersebut oleh Lsm Aliansi rakyat anti korupsi (Lsm Arak), dinilai bobrok.
Pasalnya proyek pembelian BRT yang terpusat di Kemenhub, yang didanai dari APBN 2015 – 2019 yang mencapai kisaran Rp 4,2 triliun atau lebih tersebut. diangap hanya menguntungkan pejabat dilingkungan Kemenhub, dan para rekanan-rekananya saja (pemenang tender). Karena proyek tersebut dipaksakan oleh para pejabat Kemenhub. Sehingga yang terjadi BRT yang dibeli mangkrak dimana-mana.
Pihak yang ngotot beli 3000 unit BRT adalah beberapa pejabat Kemenhub. Tanpa mempertimbangkan kebutuhan daerah. Sehingga Lsm Arak, curiga munculnya proyek ini adalah hasil kong-kalikong antara Pejabat Kemenhub, dan pabrik mobil. Untuk kepentingan pribadi mereka. Bukan kebutuhan daerah (Kabupaten/kota, atau propinsi).
Proyek pengadaan 3000 BRT tersebut dilaksanakan Direktur Bina Sarana Transportasi Perkotaan (BSTP), pembelian tahap awal tahun 2015, waktu itu Menteri perhubungan dan Direktur BPSTP, pidato dimana-mana bahwa pembelian tahap awal sebanyak 1000 BRT ukuran besar, tapi pada pelaksanaannya malah yang dibeli lebih dari itu, yaitu 1025 BRT.
Kemenhub berhati-hati dalam memberikan bantuan Bus tersebut kepada daerah.Tapi kenyataanya dilapangan dari 1025 uni BRT tersebut diberikan : Ke PT Damri sebanyak 825 unit BRT, yang kini mangkrak dimana-mana. Sedangkan yang 200 unit BRT, diberikan kepada 8 daerah.
Dari laporan dan hasil infestigasi Lsm Arak, bahwa BRT ukuran besar yang dibeli, tersebut banyak yang tidak cocok dengan-daerah yang akan diberi bantuan. Akhirnya BRT tersebut diserahkan ke PT Perum Damri. Meski pengadaan BRT tahap awal bermasalah, Kemenhub terus melanjutkan proyek tersebut, pada tahap 2 tahun 2016 lalu, namun pembelian tahap dua, sedikit berbeda dari tahap awal. Pebilian tahap II dan III, pihak Kemenhub tertutup, dari pablik, tidak melakukan pidato dan siaran dimana-mana. Sehingga masyarakat agak mendapatkan informasi, diberikan kedaerah mana saja BRT yang dibeli tahun 2016. Dan pada tahun 2017 pembelian tahap tiga sedang dilaksanakan oleh Kemenhub.
Proyek 3000 BRT periode 2015 – 2019 tersebut, menurut rencana pembelian tahap awal tahun 2015 sebanyak 1000 unit, tahap dua 2016 sebanyak 500 unit, tahap tiga 2017 sebanyak 500 unit, dan tahap empat tahun 2019 sebanyak 500 unit. Tapi baru tahap awal saja, proyek ini sudah bermasalah. Namun oleh Kemenhub, tetap dipaksakan dilanjutkan.
Lsm Arak mencurigai, ada komitmen antara pejabat Kemenhub, dengan produsen otomotif (pabrik mobil). Sehingga aparat penegak hukum, dan lembaga berwewenang lainya, perlu melakukan penyelidikan terhadap proyek ini. Supaya proyek yang nilainya triliunan ini tidak disalah gunakan.
Karena tidak menutup kemungkinan kasus pengadaan 3000 unit BRT periode 2015 – 2019 ini mirip kasus, kasus dugaan suap pembelian pesawat Airbus A330. Dengan tersangka direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Emirsyah Satar.
Emirsyah diduga menerima suap dari Soetikno dalam bentuk uang sebesar Euro 1,2 juta dan US$ 180 ribu atau setara dengan Rp 20 miliar. Ia juga diduga menerima suap dalam bentuk barang senilai US$ 2 juta. Barang itu tersebar di Singapura dan Indonesia.
Suap-suap itu diduga diberikan dalam rentang 2005-2014, saat Emirsyah masih menjabat sebagai Direktur Utama Garuda Indonesia. KPK menduga suap itu diberikan agar Emirsyah membeli mesin pesawat di Rolls Royce.
Ada beberapa poin catatan penting dari Lsm Arak tentang pengelolaan dana APBN untuk pembelian 3000 unit BRT tersebut, yang berjumlah kisaran Rp 4,2 triliun atau lebih. Lsm Arak mengangap pengelolaan dana tersebut dikelola hanya menguntungkan segelintir pejabat dilingkungan Kemenhub, dan rekanan-rekananya. Ada beberapa kritikan atas pelaksanaan proyek tersebut yaitu :
- Proyek pengadaan 3000 BRT dipaksakan terpusat di Kemenhub, menimbulkan kesan bahwa proyek tersebut adalah hasil kong-kalikong, pejabat Kemenhub. Sehingga Pejabat Kemenhub, akan merasa dirugikan jika pembelian BRT tidak ditangani oknum-oknum Pejabat Kemenhub RI.
- Perencanaan proyek 3000 unit BRT, tidak memperhitungkan kebutuhan, kondisi Daerah yang akan menerima bantuan. Bus dibeli terlebih dahulu, kemudian barulah Kemenhub memikirkan BRT akan diserahkan kedaerah mana.
- Pejabat Kemenhub, berkoar-koar bahwa BRT tersebut, akan dibagikan kedaerah-daerah (propinsi di Indonesia). Namun kenyataanya pembelian tahap awal tahun 2015 sebanyak 1025 BRT. Karena bermasalah, 1025 unit BRT tersebut diberikan Ke PT Damri sebanyak 825 unit BRT, yang kini mangkrak dimana-mana, dan sebanyak 200 unit BRT, diberikan ke 8 daerah/propinsi.
- Pejabat pejabat Kemenhub, berkoar-koar, melalui media, baik media cetak maupun elektronik, bahwa BRT ukuran besar tersebut, akan dibagikan kedaerah-daerah (propinsi di Indonesia). Tapi setelah pembelian tahap awal tahun 2015 lalu bermasalah. Kemudian pembelian tahap kedua dan ke tiga tahun 2016 dan 2017, Kemenhub, sudah sangat tertutup dari akses, masyarakat, wartawan dan Lsm. Ini mencerminkan bahwa proyek 3000 BRT ukuran besar Kemenhub, benar-benar proyek yang amburadul.
- Proyek tersebut dipaksakan terpusat di Kemenhub, telah menyebabkan biaya transportasi pengiriman BRT kedaerah penerima bantuan masih menjadi beban tambahan APBN, hal ini jelas-jelas pemborosan anggaran.
- Kurangnya pemberdayaan yang dilakukan Kemenhub, terhadap Dinas Perhubungan tingkat daerah. Seharusnya Kemenhub, harus belajar dari tahun-tahun sebelumnya dengan program yang ada, bahwa kurangnya pemberdayaan Dinas Perhubungan di daerah, dan tidak berkesinambungan menyebabkan kebijakan dipusat tidak singkron dengan kebijakan didaerah, sehingga proyek 3000 unit BRT relative mubazir/mangkrak atau tidak dipergunakan secara semestinya.
- Pemerintah Daerah penerima bantuan BRT mengalami kesulitan dalam penyediaan anggaran untuk meng Operasikan dan maintenance (O&M), pembangunan halte, yang mengikuti design Bus. Bukan hanya itu pemerintah Daerah, juga mengalami kesulitan dalam pemilihan rute jalan untuk mengoperasikan BRT yang berukuran besar.
- Perencanaan proyek 3000 BRT tidak melalui pengkajian yang matang, tidak mempertimbangkan kebutuhan Daerah, dan kondisi jalan yang ada di Daerah penerima bantuan. Sehinga mengakibatkan beberapa daerah ada yang batal/menolak menerima bantuan BRT tersebut. Ini adalah cerminan bobroknya perencanan oleh Kemenhub.
- Perencanaan proyek 3000 BRT, kurang mempertimbangkan sistem management dan kelembagaan atas BRT dan belum mempertimbangkan ketersediaan SDM yang akan mengoperasikan dan maintenance (O&M) BRT. Kemenhub hanya memperhitungkan PT Damri sebagai operator utama BRT. Padahal PT Damri yang ada saat ini juga pada level manajemen terpusat yang akan sulit memenuhi standard kebutuhan angkutan umum di daerah. Karena kendala dari hasil pengadaan bus terpusat yang telah berjalan, O&M kurang optimal serta kelangsungan pembiayaan tidak terjadi, sistem subsidi juga kurang jelas. Sampai saat ini belum ada BRT di Indonesia yang berkembang dan memberikan pelayanan memuaskan pada masyarakat.
Ada beberapa solusi untuk pengunaan anggaran peningkatan pelayanan trasportasi perkotaan dengan bus sistem di kota-kota besar Indonesia, diantarnya adalah :
- Kemenhub harus konsentrasi pada kebijakan, standard prosedur, standard pengadaan, standard management operator BRT. Kemenhub tidak perlu terlalu mengurusi hal-hal teknis apalagi sampai terlibat (menangani langsung) pembelian BRT, sampai ikut terlibat langsung membagi-bagaikan BRT ke daerah-daerah. Karena tugasnya Kemenhub harus menciptapkan vision yang lebih besar untuk pengembangan angkutan massal secara menyeluruh dan menciptakan sistem integrasinya. Jadi apa yang dilakukan saat ini menyibukan diri dengan terlibat langsung secara teknis dengan pembelian BRT, dan pengiriman BRT. Ini artinya Kemenhub telah mengkerdilkan fungsi dan kewenangan Kemenhub itu sendiri.
- Pengadaan BRT harus dilakukan di Daerah, untuk mendorong peran aktif Dinas Perhubungan Provinsi/Daerah, agar adanya sinergi dalam perencanaan dan menciptakan kebijakan pendukung. Serta adanya perencanaan subsidi BRT apabila di diperlukan.
- Pemerintah Daerah agar bisa menganggarkan pembangunan dan pemeliharaan jalan dan fasilitas umum penunjang angkutan umum. Karena pemerintah Daerah lebih memahami calon penumpang BRT pada trayek-trayek tertentu untuk disesuaikan dengan ukuran dan kapasitas layanan BRT.
- Untuk menciptakan sistem kelembagaan dan O&M yang berkesinambungan, sehingga perlu didirikan BUMD untuk pengelola BRT. Karena luasnya 34 provinsi di Indonesia maka pengelolaan BRT tidak hanya terfokus pada PT. Damri. Dengan pengembangan manajemen di daerah diharapkan SDM yang tersebar di daerah akan terakomodasi sehingga sense of belonging dari SDM daerah akan tumbuh dan berkembang.
- Anggaran APBN untuk pengadaan bus sistem bisa berupa Penanaman Modal Pemerintah (PMP) untuk BUMD Pengelola BRT. Untuk mendorong dan mempercepat pengelolaan yang professional dan berkesinambungan BUMD Pengelola BRT, didorong (encourage) untuk bekerja sama dengan Swasta dengan pola Public Private Partnership (PPP). Kerjasama PPP dengan Perusahaan Swasta yang sudah memiliki pengalaman O&M Bus. Pola operasional bisa dengan Leasing Bus pada periode konsesi. Apabila Leasing 5 tahun maka Konsesi dengan Perusahaan Swasta cukup 10 tahun, atau 2 kali masa leasing. Dengan pola ini, maka pemanfaatan APBN yang menjadi PMP akan lebih optimal, PMP senilai Rp.4,2 Trilun (setara 3000 bus) sebagai Equity BUMD Pengelola BRT bisa untuk mendapatkan Leasing Bus 3 kali lipat atau Rp.12,6 Trilun (setara 9000 unit BRT). Sehingga penyelesaian atas pengurangan kemacetan dan pengembangan angkutan umum berbasis Bus pada kota-kota besar di DiIndonesia akan jauh lebih maksimal dan berkesinambungan. Dan.
- Pada waktu mendatang, depo pemeliharaan bus, pabrik karoseri bus bisa dikembangkan di daerah-daerah di Indonesia.
Oleh karena itulah, Lsm Arak menuntut Menhub, melakukan pemecatan terhadap 4 orang pejabat dilingkungan Kemenhub RI. (rin)
Inilah para pejabat Kemenhub RI, yang harus bertanggung jawab, atas bobroknya proyek pengadaan 3000 unit BRT, untuk preode 2015 – 2019.