Membongkar Sengkarut Dana Subsidi Pengoperasian BRT, Dan Proyek 30 BRT Surabaya Metropolitan Area

Sekje Kemenhub Djoko Sasono (paling kanan), didampingi Ahmad yani ATD. MT (tengah) Direktur Angkutan dan multimoda, dalam suatu acara.

JAKARTA, NusantaraPosOnline.Com-Anggaran subsidi angkutan umum bus rapit transit (BRT) jurusan Terminal Purbaya – Terminal Porong,  Jawa timur sebesar Rp 1.797.300.000 yang bersumber dari Perubahan Anggaran pendapatan dan belanja Negara (P-APBN) tahun 2016, di Kementrian Perhubungan (Kemenhub) era Kasubdit angkutan orang di Jabat oleh Ahmad yani ATD. MT serat penyimpangan.

Pasalnya , selain adanya indikasi penyimpangan pengunaan anggaran subsidi, kini terkuak bahwa pembelian 30 unit BRT tahun 2014  yang diberi subsidi tersebut ternyata juga bermasalah.

Koordinator Lsm Aliansi rakyat anti korupsi (Lsm Arak) Safri Nawawi, SH, ia mengatakan tahun 2014 lalu Kemenhub RI, melalui Satuan kerja Bina system transportasi perkotaan (BPSTP) Dirjen Perhubungan darat, pada APBN 2014 mengaggarkan Rp 37,5 milyar, untuk pembelian 30 unit BRT ukuran besar, bus tersebut untuk diberikan kepada Pemerintah kota Surabaya. Tapi sayang 30 BRT tersebut sudah terlanjur dibeli,  saat BRT tersebut akan diserahkan kepada Pemkot Surabaya, bantuan tersebut ditolak oleh walikota Surabaya.

“Pembelian 30 BRT tahun 2014 tersebut diera Djoko Sasono yang menjabat Direktur BPSTP (Sekarang Djoko Sasono Menjabat Sekjen Kemenhub). Adanya penolakan bantuan 30 BRT oleh Pemkot Surabaya tersebut, artinya pembelian 30 BRT tersebut dipaksakan oleh Kemenhub. Hal ini menjadi aneh, kalau daerah (Pemkot Surabaya) tidak mengajukan permohonan bantuan 30 BRT, lalu kenapa Kemenhub bisa mengangarkan Rp 37,5 milyar di APBN 2014. Ini artinya layak dicurigai proyek ini dimunculkan untuk kepentingan pejabat Kemenhub dan pabrik (produsen) mobil BRT.” Kata Safri, Selasa (8/1/2018).

Tiga unit BRT jurusan Terminal Purbaya – Terminal Porong, sedang ngetem diterminal Purbaya, menunggu penumpang.

Menurutnya, kami curiga Djoko Sasono Cs, cuman mengejar uang fee jual beli 30 BRT tersebut. Yang aneh lagi pembelian 30 BRT ini, juga dipaksakan dilakukan dipusat  yaitu di Kemenhub. Pembelian dilakukan dipusat akan menambah biaya kirim BRT dari Kemenhub ke Surabaya, ini namanya pemborosan APBN.

“Jadi perencanaan pembelian 30 BTR tersebut di Kemenhub benar-benar bobrok. Karena bantuan ditolak Wali kota Surabaya, selanjutnya 30 BRT tersebut, oleh Kemenhub terpaksa diserahkan ke PT DAMRI cabang Surabaya, dan dipaksakan dioperasikan diluar kota  Surabaya, yaitu melayani trayek Terminal Purbaya – Terminal Porong.” Ucap Safri.

Safri menambahkan, setelah dioperasikan melayani trayek Terminal Purbaya – Terminal Porong. Namun pengoperasian 30 BRT ini terseok-seok karena menangung dosa-dosa perencanaan yang buruk di Kemenhub. Bahkan puluhan BRT terpaksa mangkrak.

“Kebobrokan perencanaan proyek 30 BRT untuk Surabaya metropolitan area tersebut, tidak berhenti disitu. Diakhir  tahun 2016, Kemenhub menganggarkan pada satuan kerja Subdit angkutan orang, Dirjen Perhubungan darat, menganggarkan dalam P-APBN 2016  untuk subsidi pengoperasian 30 BRT tersebut sebesar Rp 1.797.300.000. Subsidi tersebut untuk 30 BRT selama 2 bulan.” Terang Safri.

Anggaran sebesar Rp 1.797.300.000 untuk subsidi pengoperasian 30 BRT selama dua bulan atau 60 hari. Subsidi pengoperasian 30 BRT tersebut dengan perincian setiap hari 180 rit, setiap 1 rit dianggarkan subsidi sebesar  Rp 166.414.  Jadi  jika dihitung 180 rit /hari x 60 (2 bulan) = 10.800 rit. Artinya 10.800 rit x Rp 166.414 (subsidi per rit) = 1.797.271.000, kemudian di P-APBN 2016 dibulatkan menjadi Rp 1.797.300.000.

Safri, menilai anggaran subsidi sebesar Rp 1.797.300.000  untuk 30 BRT tersebut mengada-ada, mengunakan data ngawur, tidak sesuai dengan data dilapangan. Karena kenyataan dilapangan BRT yang beroperasi hanya 10 unit BRT. Lalu jatah subsidi 20 unit BRT dikemanakan oleh pejabat Dirjen perhubungan darat.

“Subsidi tersebut cair sekitar akhir November 2018. Dari pantauan kami sejak Juli 2016 – Mei 2018  hanya 10 unit BRT yang beroperasi. Kami menduga jatah subsidi 20 BRT tersebut dikorupsi. Karena saat dianggarkan jelas-jelas untuk 30 unit BRT bahkan lengkap dengan nomer Polisi BRT yang disubsidi. Seharusnya kalau hanya 10 BRT yang beroperasi, ya 10 BRT saja yang disubsidi,  20 BRT yang menganggur tidak perlu disubsidi. Data yang digunakan Dirjen perhubungan darat, untuk menganggarkan subsidi mengunakan data Ngawur.” Tegas Safri.

Safri mengaku tidak habis pikir, kok bisa 20 BRT yang tidak beroperasi ikut dianggarkan diberi subsidi.

“Dirjen perhubungan darat, pura-pura tidak tahu, atau memang mereka sengaja menganggarkan subsidi BRT untuk bancaan, diakhir tahun 2016 lalu. Dalam anggaran tertulis dengan jelas subsidi untuk 30 BRT selama 2 bulan (60 hari), padahal dilapangan hanya 10 BRT yang beroperasi. Ada dugaan sengaja merekayasa anggaran tersebut. Akibatnya ada potensi kerugian Negara kisaran  Rp. 599.100.000, itu belum termasuk kerugian biaya pengawasan. Ini harus diusut oleh penegak hukum.” Kata Safri.

Angaran subsidi tersebut, dianggarkan pada Subdit angkutan orang, Dirjen Perhubungan darat, saat itu yang menjabat Kasubdid angkutan orang adalah Ahmad yani, ATD, MT, yang sekarang Ahmad yani, menjabat sebagai Direktur angkutan dan multi moda, Dirjen perhubungan darat.

“Jadi dari awal perencanaan dan pembelian 30 BRT untuk Surabaya Metropolitan Area, tahun 2014 lalu di Kemenhub sudah bermasalah. Orang yang paling bertangung jawab atas kasus ini, adalah mantan Djoko Sasono yang menjabat Direktur BPSTP (Sekarang Djoko Sasono Menjabat Sekjen Kemenhub).” Ucap Safri.

Sedangkan untuk kasus dugaan korupsi subsidi pengoperasian 30 BRT jurusan Terminal Purbaya – Terminal Porong (BRT Surabaya Metropolitan Area) yang dibiayai dari P-APBN 2016, yang bertangung jawab adalah Ahmad yani ATD. MT mantan Kasubdit angkutan orang (Sekarang Ahmad Yani menduduki jabatan Direktur Angkutan dan multimoda).

“Djoko Sasono dan Ahmad yani, orang yang paling bertangung jawab atas proyek 30 BRT Surabaya Metropolitan Area dan kasus korupsi subsidi 30 BRT tersebut. Hal ini terjadi ini bukti lemahnya pengawasan di internal Kemenhub RI. Kami berharap penegak hukum mengusut masalah ini.” Kata Safri. (Rin/Jun)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Content is protected !!